Psikolinguistik terbentuk dari
kata psikologi dan kata linguistic, yakni dua bidang ilmu yang berbeda, yang
masing – masing berdiri sendiri, dengan prosedur dan metode yang berlainan.
Namun, keduanya sama – sama meneliti bahasa sebagai objek formalnya. Hanya
materinya yang berbeda, linguistik mengkaji struktur bahasa, sedangkan
psikologi mengkaji perilaku berbahasa atau proses berbahasa. Dengan demikian
cara dan tujuannya juga berbeda.
Meskipun cara dan tujuan berbeda,
tetapi banyak juga bagian – bagian objeknya yang dikaji dengan cara yang sama
dan dengan tujuan yang sama, tetapi dengan teori yang berlainan. Hasil kajian
kedua disiplin ini pun banyak yang sama, meskipun tidak sedikit yang berlainan.
Oleh karena itulah, telah lama dirasakan perlu adanya kerja sama di antara
kedua disiplin ini untuk mengkaji bahasa dan hakikat bahasa. Dengan kerja sama
kedua disiplin itu diharapkan akan diperoleh hasil kajian yang lebih baik dan
lebih bermanfaat.
Sebagai hasil kerjasama yang
baik, lebih terarah, dan lebih sistematis diantara kedua ilmu itu, lahirlah
satu disiplin ilmu baru yang disebut psikolinguistik, sebagai ilmu
antardisiplin antara psikologi dan linguistik. Istilah psikolinguistik
itu sendiri baru lahir tahun 1945, yakni tahun terbitnya buku psycholinguistics
: A Survey of Theory and Reserch Problems yang disunting oleh Charles E.
Osgood dan Thomas A. sebeok, di Bloomington, Amerika Serikat.
Psikolinguistik mencoba
menguraikan proses – proses psikologi yang berlangsung jika seseorang mengucapkan
kalimat – kalimat yang didengarnya pada waktu berkomunikasi, dan bagaimana
kemampuan berbahasa itu diperoleh oleh manusia (Slobin, 1974; Meller, 1964;
Slama Cazahu, 1973). Maka secara teoteris tujuan utama psikolinguistik adalah mencari
satu teori bahasa yang secara linguistik bisa diterima dan secara psikologi
dapat menerangkan hakikat bahasa dan pemeerolehannya. Dengan kata lain,
psikolinguistik mencoba menerangkan hakikat struktur bahasa, dan bagaimana
struktur ini diperoleh, digunakan pada waktu bertutur, dan pada
waktu memahami kalimat– kalimat dalam pertuturan itu. Dalam prakteknya
psikolinguistik mencoba menerapkan pengetahuan linguistik dan psikologi pada
masalah – masalah seperti pengajaran dan pembelajaran bahasa, pengajaran
membaca permulaan dan membaca lanjut, kedwibahasaan dan kemultibahasaan,
penyakit bertutur seperti afasia, gagap, dan sebagainya; serta masalah –
masalah sosial lain yang menyangkut bahasa, seperti bahasa dan pendidikan,
bahasa dan pembangunan nusa dan bangsa.
Sejarah Perkembangan Psikolnguistik
Istilah psikolinguistik
baru muncul pada tahun 1954 dalam buku Thomas A. Sebeok dan Charles E.
Osgood yang berjudul Pshycolinguiatics: A Survey of Theory and
Research Problems, namun sebenarnya sejak zaman panini, ahli bahasa
dari India, dan Sokrates ahli filsafat dari Yunani, pengkajian bahasa telah
dilakukan orang. Kajian mereka tidak terlepas dari paham/aliran filsafat yang
mereka anut, karena filsafat merupakan induk dari semua disiplin ilmu.
Pada abad yang lalu terdapat dua
aliran filsafat yang saling bertentangan dan saling memengaruhi perkembangan
linguistik dan psikologi. Yang pertama adalah aliran empirisme yang erat
kaitannya dengan psikologi asosiasi. Aliran empirisme melakukan kajian terhadap
data empiris atau objek yang dapat diobservasi dengan cara menganalisis unsur –
unsur pembentukannya sampai yang sekecil – kecilnya. Oleh karena itu, aliran
ini disebut bersifat atomistik, dan lazim dikaitkan dengan asosianisme dan
positivisme.
Aliran kedua dikenal dengan nama rasionalisme.
Aliran ini mengkaji akal sebagai satu keseluruhan dan menyatakan bahwa faktor –
faktor yang ada dalam akal inilah yang patut diteliti untuk bisa memahami
perilaku manusia itu. Oleh karena itu, aliran ini disebut bersifat holistik,
dan biasa dikaitkan dengan paham nativisme, idealisme, dan
mentalisme.
Psikolinguistik bermula dari
adanya pakar linguistik yang berminat pada psikologi, dan adanya pakar
psikologi yang berkecimpung dalam linguistik. Dilanjutkan dengan adanya kerjasama
antara pakar linguistik dan pakar psikologi, dan kemudian muncullah pakar –
pakar psikolinguistik sebagai disiplin mandiri.
a.
Psikologi dalam Linguistik
Dalam sejarah linguistik ada
sejumlah pakar linguistik yang menaruh perhatian besar pada psikologi. Von
Humboldt (1767-1835), pakar linguistik berkebangsaan Jerman telah mencoba
mengkaji hubungan antara bahasa (linguistik) dengan pemikiran manusia
(psikologi). Caranya, dengan membandingkan tata bahasa dari bahasa – bahasa
yang berlainan dengan tabiat – tabiat bangsa – bangsa penutur itu. Von Humboldt
sangat dipengaruhi oleh aliran rasionalisme. Dia menganggap bahasa bukanlah
sesuatu yang sudah siap untuk dipotong – potong dan diklasifikasikan seperti
aliran empirisme. Menurut Von Humboldt bahasa itu merupakan satu kegiatan yang
memiliki prinsip – prinsip sendiri.
Ferdinand de Saussure
(1858-1913), pakar linguistik berkembangsaan Swiss, telah berusaha menerangkan
apa sebenarnya bahassa itu (linguistik) dan bagaimana keadaan bahasa itu dalam
otak (psikologi). Beliau memperkenalkan tiga istilah tentang bahasa yaitu langage
(bahasa pada umumnya yang bersifat abstrak), langue (bahasa tertentu
yang bersifat abstrak), dan parole (bahasa sebagai tuturan yang bersifat
konkret). Dia menegaskan objek kajian linguistik adalah langue.,
sedangkan objek kajian psikologi adalah parole. Ini berarti, kalau ingin
mengkaji bahasa secara lengkap, maka kedua disiplin, yakni linguistik dan
psikologi harus digunakan. Hal ini dikatakannya karena dia menganggap segala sesuatu
yang ada dalam bahasa itu pada dasarnya bersifat psikologis.
Edward Sapir (1884-1939), pakar
linguistik dan antropologi bangsa Amerika, telah mengikutsertakan psikologi
dalam pengkajian bahasa. Menurut Sapir, psikologi dapat memberikan dasar ilmiah
yang kuat dalam pengkajian bahasa. Beliau juga mencoba mengkaji hubungan bahasa
(linguistik) dengan pemikiran (psikologi). Dari kajian itu beliau berkesimpulan
bahwa bahasa, terutama strukturnya, merupakan unsur yang menentukan struktur
pemikiran manusia. Beliau juga menekankan bahwa linguistik dapat memberikan
sumbangan yang penting kepada psikologi Gestalt, dan sebaliknya psikologi
Gestalt dapat membantu disiplin linguistik.
b.
Linguistik dalam Psikologi
Dalam sejarah perkembangan
psikologi ada sejumlah pakar psikologi yang menaruh perhatian pada linguistik.
John Dewey (1859-1952), pakar psikologi berkebangsaan Amerika, seorang
empirisme murni. Beliau telah mengkaji bahasa dan perkembangannya dengan cara
menafsirkan analisis linguistik bahasa kanak – kanak berdasarkan prinsip –
prinsip psikologi. Umpamanya, beliau menyarankan agar penggolongan psikologi
akan kata – kata yang diucapkan kanak – kanak dilakukan berdasarkan makna
seperti yang dipahami kanak – kanak, dan bukan seperti yang dipahami orang
dewasa dengan bentuk – bentuk tata bahasa orang dewasa. Dengan cara ini, maka
berdassarkan prinsip – prinsip psikologi akan dapat ditentukan hubungan antara
kata – kata berkelas adverbia dan preposisi disatu pihak dengan kata – kata
berkelas nomina dan adjektiva dipihak lain. Jadi, dengan pengkajian kelas kata
berdasarkan pemahaman kanak – kanak kita akan dapat menentukan kecenderungan
akal (mental) kanak – kanak yang dihubungkan dengan perbedaan – perbedaan
linguistik. Pengkajian seperti ini, menurut Dewey, akan memberi bantuan yang
besar kepaada psikologi bahasa pada umumnya.
Watson (1878-1958), ahli
psikologi behaviorisme berkebangsaan Amerika. Beliau menempatkan perilaku atau
kegiatan berbahasa sama dengan perilaku atau kegiatan lainnya, seperti makan,
berjalan, dan melompat. Pada mulanya Watson hanya menghubungkan perilaku
berbahasa yang implisit, yakni yang terjadi didalam pikiran, dengan yang
eksplisit, yakni yang berupa tuturan. Namun, kemudian dia menyamakan perilaku
berbahasa itu dengan teori stimulus-respons yang dikembangkan oleh
Povlov. Maka, penyamaan ini memperlakukan kata – kata sama dengan benda – benda
lain sebagai respons dari suatu stimulus.
Weiss,
ahli psikolodi behaviorisme Amerika. Beliau mengakui adanya aspek mental dalm
bahasa. Namun, karena wujudnya tidak memiliki kekuatan bentuk fisik, maka
wujudnya itu sukar dikaji atau ditunjukkan. Oleh karena itu, Weiss lebih
cenderung mengatakan bahwa bahasa itu sebagai satu bentuk perilaku apabila
seseorang menyesuaikan dirinya dengan lingkungan sosialnya. Weiss adalah salah
seorang tokoh yang terkemuka yang telah merintis jalan kearah lahirnya
psikolinguistik. Karena dialah yang telah berhasil mengubah Bloomfield dari
penganut aliran mentalistik menjadi penganut aliran behaviorisme. Weiss juga
telah mengemukakan sejumlah masalah yang harus dipecahkan oleh linguistik dan
psikologi yang dilihat dari sudut behaviorisme. Di antara masalah – masalah itu
adalah sebagai berikut :
- Bahasa merupakan satu kumpulan respons yang jumlahnya tidak terbatas terhadap suatu stimulus.
- Pada dasarnya perilaku bahasa menyatukan anggota suatu masyarakat ke alam organisasi gerak saraf.
- Perilaku bahasa adalah sebuah alat untuk mengubah dan meragam-ragamkan kegiatan seseorang sebagai hasil warisan dan hasil perolehan.
- Bahasa dapat merupakan stimulus terhadap satu respons, atau merupakan satu respons terhadap satu stimulus.
- Respons bahasa sebagai satu stimul pengganti untuk benda dan keadaan yang sebenarnya memungkinkan kita untuk memunculksn kembali suatu hal yang pernah terjadi, dan menganalisis kejadian ini dalam bagian – bagiannya.
c.
Kerjasama Psikologi dan
Linguistik
Kerjasama secara langsung antara
linguistik dan psikologi sebanarnya sudah dimulai sejak 1860 yaitu, oleh Heyman
Steintthal, seorang ahli psikologi yang beralih menjadi ahli linguistik, dan
Moriz Lazarus seorang ahli linguistik yang beralih menjadi ahli psikologi
dengan menrbitkan sebuah jurnal yang khusus membicarakan masalh psikologi
bahasa dari sudut linguistik dan psikologi.
Dasar – dasar psikolinguistik
menurut beberapa pakar didalam buku yang disunting oleh Osgood dan Sebeok
diatas adalah berikut ini :
- Psikolinguistik adalah satu teori linguistik berdasarkan bahasa yang dianggap sebagai sebuah sistem elemen yang saling berhubungan erat.
- Psokolinguistik adalah satu teori pembelajaran (menurut teori behaviorisme) berdasarkan bahasa yang dianggapnsebagainsatu sistem tabiat dan kemampuan yang menghubungkan isyarat dengan perilaku.
- Psikolinguistik adalah satu teori informasi yang menganggap bahasa sebagai sebuah alat untuk menyampaikan suatu benda.
d. Tiga Generasi dalam Psikolinguistik
1. Psikolinguistik Generasi pertama
Psikolinguistik generasi pertama
adalah psikolinguistik dengan para pakar yang menulis artikel dalam kumpulan
karangan berjudul psycholinguistics: A Survey of Theory and Reserch Problems
yang disunting oleh Charles E. Osgood dan Thomas A. Sebeok. Titik pandang
Osgood dan Sebeok berkaitan erat dengan aliran behaviorisme (aliran perilaku)
atau lebih tepat lagi aliran neobehaviorisme. Teori – teori ini
mengidentifikasikan bahasa sebagai stu sistem respon yang langsung dan tidak
langsung terhadap stimulus verbal dan nonverbal. Orientasi stimulus respons ini
adalah orientasi psikologi.
Tokoh lain dari generasi pertama ini adalah L. Bloomfield. Beliau adalah tokoh
linguistik Amerika yang menerima dan menerapkan teori – teori behaviorisme
dalam analisis bahaa. Teknik analisis bahasa dan pandangannya tentang hakikat
bahasa sama dengan pandangan dan teori psikolinguistik perilaku.
Manusia yang normal sejak lahir
telah dilengkapi dengan kemampuan belajar. Oleh sebab itu, kemampuan berbahasa
didapat atau dicapai melalui proses belajar. Hal ini menunjukkan bahwa itu
harus dipelajari. Dengan kata lain, kemampuan berbahasa adalah satu kemampuan
hasil belajar, dan bukan sebagai sesuatu yang diwarisi.
Tokoh lain dari psikolinguistik
generasi pertama, dan yang dianggap sebagai tokoh utama adalah B. F. Skonner.
Beliau menjadi tokoh yang kemudian ditentang oleh Noam Chomsky yang menganut
aliran kognitif dalam proses berbahasa. Namun, teori – teori Skinner inilah
yang dianut oleh teori – teori linguistik aliran Bloomfield.
2.
Psikolinguistik Generasi Kedua
Karena pada psikolinguiatik generasi pertama tidak menjawab banyak masalah
proses berbahasa, dan teori – teori itu kekurangan daya penjelas, maka diperlukan
teori yang lain dalam psikolinguistik. Lahirlah teori –teori psikolinguiatik
generasi kedua, dengan dua tokoh utamanya yakni Noam Chomsky dan George Miller.
Menurut Mehler dan Noizet, psikolinguistik generasi kedua telah dapat
mengatasi ciri – ciri atomistik dari psikolinguistik Osgood-Sebeok. Psikolinguistik
generasi kedua berpendapat bahwa dalam proses berbahasa bukanlah butir – butir
bahasa yang diperoleh, melainkan kaidah dan sistem kaidahlah yang diperoleh.
3.
Psikolinguistik Generasi Ketiga
Kelahiran psikolinguistik generasi ketiga ini oleh G. Werstch dalam bukunya
Two Problems for the New Psycholinguistics diberi nama New
Psycholinguistics. Ciri – ciri
psikolinguistik generasi ketiga ini adalah sebagai berikut :
Pertama,
orientasi mereka kepada psikologi, tetapi bukan psikologi perilaku. Mereka
berorientasi kepada psikologi seperti yang dikemukakan oleh Fresse dan Al
Vallon dari perancis, dan mungkin juga kepada psikologi aktivitas dari Uni
Sovyet atau seperti ditekankan oleh G. Werstch bahwa terjadi proses yang
serempak dari informasi linguistik dan psikologi.
Kedua,
keterlepasan mereka dari kerangka psikolinguistik kalimat dan keterlibatan
dalam psikolinguistik yang berdasarkan situasi dan konteks. Ini berarti,
analisis psikolinguistik bbukan lagi menentukan kalimat hubungan antara
struktur gramatikal dan kaidah semantik model Noam Chomsky dengan teori
generatif transformasinya, tetapi hubungan ini diperluas dengan memperhitungkan
situasi dan konteks.
Ketiga,
adanya satu pergeseran dari analisis mengenai proses ujaran yang abstrak ke
satu analisis psikologis mengenai komunikasi dan pikiran. Pergeseran dari
ujaran yang abstrak ke komunikasi dan pikiran ini dikemukakan oleh J. S. Bruner
dalam artikelnya berjudul Frol Communication to Language yang dimuat dalam
Cognition tahun 1974-5.
Ketiga
ciri utama dari psikolinguistik generasi ketiga ini menunjukkan telah
terjadinya satu peningkatan kualitatif dalam perkembangan psikolinguistik di
negara – negara Barat. Namun, menurut Leontive (1981) dibandingkan dengan
perkembangan linguistik di Eropa, maka osikolinguistik di Rusia sudah lebih
dulu berkembang karena sejak awal psikolinguistik di Rusia telah
memperhitungkan jurus komunikasi dan pikiran dalam analisas psikolinguistik.
Aliran-aliran Psikolinguistik
1) Aliran
Behavioristik
Teori Behavioristik pertama kali dimunculkan oleh Jhon B.Watson
(1878-1958). Dia adalah seorang ahli psikologi berkebangsaan amerika. Dia
mengembangkan teori Stimulus-Respons Bond (S – R Bond) yang telah diperkenalkan
oleh Ivan P.Pavlov. Menurut teori ini tujuan utama psikologi adalah
membuat prediksi dan pengendalian terhadap prilaku, dan sedikitpun tidak ada
hubungannya dengan kesadaran. Yang dikaji adalah benda-benda atau hal-hal yang
diamati secara langsung, yaitu rangsangan (stimulus) dan gerak balas(respons) [1][1][1].
Eksperimen yang dilakukan oleh Watson dalam membuktikan kebenaran teori
behaviorismenya terhadap manusia adalah percobaan terhadap bayi yang bernama
albert berusia 11 tahun dan tikus putih. Dimana kesimpulan akhirnya adalah
pelaziman dapat merubah prilaku seseorang secara nyata.
Dalam pembelajaran yang didasarkan pada hubungan stimulus respon, Watson
mengemukakan dua hal penting:
1. Recency
Principle (prinsip kebaruan)
Yaitu Jika suatu stimulus baru saja menimbulkan respons, maka kemungkinan
stimulus itu untuk menimbulkan respons yang sama apabila diberikan umpan lagi
akan lebih besar daripada kalau stimulus itu diberikan umpan setelah lama
berselang.
2. Frequency Principle (prinsip
frekuensi)
Menurut prinsip ini apabila suatu stimulus dibuat lebih sering menimbulkan
satu respons, maka kemungkinan stimulus itu akan menimbulkan respons yang sama
pada waktu yang lain akan lebih besar.
Selain itu. Watson mengatakan bahwa keyakinan pada adanya kesadaran
berkaitan dengan keyakinan masa-masa nenek moyang mengenai tahayul. Magis-magis
senantiasa hidup. Konsep-konsep warisan masa praberadab ini telah membuat
kebangkitan dan pertumbuhan psikologis ilmiah menjadi sangat sulit. Kriteria
Watson dalam menentukan apakah sesuatu itu ada atau tidak ada adalah
berdasarkan apakah hal tersebut dapat diamati atau tidak dapat diamati.
Selanjutnya Bell (1981: 24)
mengungkapkan pandangan aliran behaviorisme yang dianggap sebagai jawaban atas
pertanyaan bagaimanakah sesungguhnya manusia memelajari bahasa, yaitu:
1. Dalam upaya menemukan penjelasan atas proses
pembelajaran manusia, hendaknya para ahli psikologi memiliki pandangan bahwa
hal-hal yang dapat diamati saja yang akan dijelaskan, sedangkan hal-hal yang
tidak dapat diamati hendaknya tidak diberikan penjelasan maupun membentuk
bagian dari penjelasan.
2. Pembelajaran itu terdiri dari pemerolehan kebiasaan,
yang diawali dengan peniruan.
3. Respon yang dianggap baik menghasilkan imbalan yang
baik pula.
4. Kebiasaan diperkuat dengan cara mengulang-ulang
stimuli dengan begitu sering sehingga respon yang diberikan pun menjadi sesuatu
yang bersifat otomatis.
2) Aliran Kognitif
Menurut teori ini bahasa bukanlah suatu ciri ilmiah yang terpisah,
melainkan salah satu diantara beberapa kemampuan yang berasal dari kematangan
kognitif. Bahasa di instruksikan oleh nalar. Perkembangan bahasa harus berlandaskan
pada percobaan yang lebih mendasar dan lebih umum di dalam kognisi. Jadi
urutan-urutan perkembnagan kognitif menentukan perkembangan bahasaMenurut teori
kognitif yang utama sekali harus dicapai adalah perkembangan kognitif, barulah
pengetahuan dapat keluar dalam bentuk keterampilan berbahasa semenjak lahir
sampai umur 18 bulan bahasa belum ada, si anak memahami dunia melalui indranya.
Adapun tokoh yang terkenal dengan teori kognitif ini adalah Noam Chomsky
menyatakan bahwa manusia dilahirkan dengan akal yang berisi pengetahuan batin
yang berkait dengan sejumlah bidang yang berbeda-beda. Salah satu dari
pengetahuan tersebut berkait dengan bahasa. Chomsky menyebut pengetahuan batin
yang berkait dengan bahasa ini sebagai Language Acquisition Device atau
yang lebih populer sebagai LAD, yang dalam modul disebut sebagai Alat
Pemerolehan Bahasa atau APB. Chomsky berpendapat bahwa daya-daya dalam
bidang yang berbeda yang disebut di atas, relatif mandiri satu sama lain.
Artinya tidak saling berkait. Bahkan dalam kaitan dengan pemerolehan bahasa,
Chomsky berpendapat bahwa bagi pemerolehan bahasa, pengetahuan batin saja sudah
cukup dan pengetahuan matematis serta pengetahuan logika tidak diperlukan dalam
kegiatan ini.
Masih menurut Chomsky behaviorisme (S-R), sangat tidak memadai untuk
menerangkan proses pemerolejhan bahasa. Sebab masukan data linguistiknya sangat
sedikit untuk membangkitkan rumus-rumus linguistic. pada bagian
akhir subpokok bahasan diketengahkan argumen-argumen yang dikemukakan Chomsky
dalam mempertahankan APB yang tertuang dalam bentuk empat argumen, yakni (1)
keunikan tata bahasa, (2) data masukan yang tidak sempurna, (3)
ketidakselarasan intelegensi, dan (4) kemudahan dan kecepatan pemerolehan
bahasa anak.
3) Aliran
Mentalistik
Pada subpokok bahasan ini, kita telah membahas sejumlah konsep
pendapat-pendapat para teorisi mengenai bagaimana seseorang memahami dan
merespons terhadap apa-apa yang ada di alam semesta ini. Kita telah berbicara
mengenai pandangan-pandangan kaum mentalis dan kaum bahavioris, terutama dalam
kaitan dengan keterhubungan antara bahasa, ujaran dan pikiran. Menurut kaum
mentalis, seorang manusia dipandang memiliki sebuah akal (mind) yang berbeda
dari badan (body) orang tersebut. Artinya bahwa badan dan akal dianggap sebagai
dua hal yang berinteraksi satu sama lain, yang salah sati di antaranya mungkin
menyebabkan atau mungkin mengontrol peristiwa-peristiwa yang terjadi pada
bagian lainnya. Dalam kaitan dengan perilaku secara keseluruhan, pandangan ini
berpendapat bahwa seseorang berperilaku seperti yang mereka lakukan itu bisa
merupakan hasil perilaku badan secara tersendiri, seperti bernapas atau bisa
pula merupakan hasil interaksi antara badan dan pikiran. Mentalisme dapat
dibagi menjadi dua, yakni empirisme dan rasionalisme.
Kedua pendapat ini pun memiliki pandangan-pandangan
yang berbeda dalam memahami persoalan gagasan-gagasan batin atau pengetahuan.
Semua kaum mentalis bersepakat mengenai adanya akal dan bahwa manusia memiliki
pengetahuan dan gagasan di dalam akalnya. Meskipun demikian, mereka tidak
bersepakat dalam hal bagaimana gagasan-gagasan tersebut bisa ada di dalam akal.
Apakah gagasan-gagasan tersebut seluruhnya diperoleh dari pengalaman (pendapat
kaum empiris) atau gagasan-gagasan tersebut sudah ada di dalam akal sejak lahir
(gagasan kaum rasional). Bahkan di dalam kedua aliran ini pun, terdapat
perbedaan pendapat yang rinciannya akan kita bahas nanti.
Kemudian, diketengahkan pembahasan mengenai empirisme.
Dalam kaitan ini telah dibahas kenyataan bahwa kata empiris dan empirisme telah
berkembang menjadi dua istilah yang memiliki dua makna yang berbeda. Setelah
itu, dibahas pula isu lain yang mengelompokkan kaum empiris, yakni isu yang
berkenaan dengan pertanyaan apakah gagasan-gagasan di dalam akal manusia yang
membentuk pengetahuan bersifat universal atau umum di samping juga bersifat
fisik.