Teori Psikolinguistik

Psikolinguistik terbentuk dari kata psikologi dan kata linguistic, yakni dua bidang ilmu yang berbeda, yang masing – masing berdiri sendiri, dengan prosedur dan metode yang berlainan. Namun, keduanya sama – sama meneliti bahasa sebagai objek formalnya. Hanya materinya yang berbeda, linguistik mengkaji struktur bahasa, sedangkan psikologi mengkaji perilaku berbahasa atau proses berbahasa. Dengan demikian cara dan tujuannya juga berbeda.
Meskipun cara dan tujuan berbeda, tetapi banyak juga bagian – bagian objeknya yang dikaji dengan cara yang sama dan dengan tujuan yang sama, tetapi dengan teori yang berlainan. Hasil kajian kedua disiplin ini pun banyak yang sama, meskipun tidak sedikit yang berlainan. Oleh karena itulah, telah lama dirasakan perlu adanya kerja sama di antara kedua disiplin ini untuk mengkaji bahasa dan hakikat bahasa. Dengan kerja sama kedua disiplin itu diharapkan akan diperoleh hasil kajian yang lebih baik dan lebih bermanfaat.
Sebagai hasil kerjasama yang baik, lebih terarah, dan lebih sistematis diantara kedua ilmu itu, lahirlah satu disiplin ilmu baru yang disebut psikolinguistik, sebagai ilmu antardisiplin antara psikologi dan linguistik. Istilah psikolinguistik itu sendiri baru lahir tahun 1945, yakni tahun terbitnya buku psycholinguistics : A Survey of Theory and Reserch Problems yang disunting oleh Charles E. Osgood dan Thomas A. sebeok, di Bloomington, Amerika Serikat.
Psikolinguistik mencoba menguraikan proses –  proses psikologi yang berlangsung jika seseorang mengucapkan kalimat – kalimat yang didengarnya pada waktu berkomunikasi, dan bagaimana kemampuan berbahasa itu diperoleh oleh manusia (Slobin, 1974; Meller, 1964; Slama Cazahu, 1973). Maka secara teoteris tujuan utama psikolinguistik adalah mencari satu teori bahasa yang secara linguistik bisa diterima dan secara psikologi dapat menerangkan hakikat bahasa dan pemeerolehannya. Dengan kata lain, psikolinguistik mencoba menerangkan hakikat struktur bahasa, dan bagaimana struktur ini diperoleh, digunakan pada waktu bertutur, dan pada
waktu memahami kalimat– kalimat dalam pertuturan itu. Dalam prakteknya psikolinguistik mencoba menerapkan pengetahuan linguistik dan psikologi pada masalah – masalah seperti pengajaran dan pembelajaran bahasa, pengajaran membaca permulaan dan membaca lanjut, kedwibahasaan dan kemultibahasaan, penyakit bertutur seperti afasia, gagap, dan sebagainya; serta masalah – masalah sosial lain yang menyangkut bahasa, seperti bahasa dan pendidikan,
bahasa dan pembangunan nusa dan bangsa.

Sejarah Perkembangan Psikolnguistik
Istilah  psikolinguistik baru muncul pada tahun 1954 dalam buku Thomas A. Sebeok  dan Charles E. Osgood yang berjudul  Pshycolinguiatics: A Survey of Theory and Research Problems, namun sebenarnya sejak zaman  panini, ahli bahasa dari India, dan Sokrates ahli filsafat dari Yunani, pengkajian bahasa telah dilakukan orang. Kajian mereka tidak terlepas dari paham/aliran filsafat yang mereka anut, karena filsafat merupakan induk dari semua disiplin ilmu.
Pada abad yang lalu terdapat dua aliran filsafat yang saling bertentangan dan saling memengaruhi perkembangan linguistik dan psikologi. Yang pertama adalah aliran empirisme yang erat kaitannya dengan psikologi asosiasi. Aliran empirisme melakukan kajian terhadap data empiris atau objek yang dapat diobservasi dengan cara menganalisis unsur – unsur pembentukannya sampai yang sekecil – kecilnya. Oleh karena itu, aliran ini disebut bersifat atomistik, dan lazim dikaitkan dengan asosianisme dan positivisme.
Aliran kedua dikenal dengan nama rasionalisme. Aliran ini mengkaji akal sebagai satu keseluruhan dan menyatakan bahwa faktor – faktor yang ada dalam akal inilah yang patut diteliti untuk bisa memahami perilaku manusia itu. Oleh karena itu, aliran ini disebut bersifat holistik, dan biasa dikaitkan dengan paham nativisme, idealisme, dan mentalisme.
Psikolinguistik bermula dari adanya pakar linguistik yang berminat pada psikologi, dan adanya pakar psikologi yang berkecimpung dalam linguistik. Dilanjutkan dengan adanya kerjasama antara pakar linguistik dan pakar psikologi, dan kemudian muncullah pakar – pakar psikolinguistik sebagai disiplin mandiri.

a.      Psikologi dalam Linguistik
Dalam sejarah linguistik ada sejumlah pakar linguistik yang menaruh perhatian besar pada psikologi. Von Humboldt (1767-1835), pakar linguistik berkebangsaan Jerman telah mencoba mengkaji hubungan antara bahasa (linguistik) dengan pemikiran manusia (psikologi). Caranya, dengan membandingkan tata bahasa dari bahasa – bahasa yang berlainan dengan tabiat – tabiat bangsa – bangsa penutur itu. Von Humboldt sangat dipengaruhi oleh aliran rasionalisme. Dia menganggap bahasa bukanlah sesuatu yang sudah siap untuk dipotong – potong dan diklasifikasikan seperti aliran empirisme. Menurut Von Humboldt bahasa itu merupakan satu kegiatan yang memiliki prinsip – prinsip sendiri.
Ferdinand de Saussure (1858-1913), pakar linguistik berkembangsaan Swiss, telah berusaha menerangkan apa sebenarnya bahassa itu (linguistik) dan bagaimana keadaan bahasa itu dalam otak (psikologi). Beliau memperkenalkan tiga istilah tentang bahasa yaitu langage (bahasa pada umumnya yang bersifat abstrak), langue (bahasa tertentu yang bersifat abstrak), dan parole (bahasa sebagai tuturan yang bersifat konkret). Dia menegaskan objek kajian linguistik adalah langue., sedangkan objek kajian psikologi adalah parole. Ini berarti, kalau ingin mengkaji bahasa secara lengkap, maka kedua disiplin, yakni linguistik dan psikologi harus digunakan. Hal ini dikatakannya karena dia menganggap segala sesuatu yang ada dalam bahasa itu pada dasarnya bersifat psikologis.
Edward Sapir (1884-1939), pakar linguistik dan antropologi bangsa Amerika, telah mengikutsertakan psikologi dalam pengkajian bahasa. Menurut Sapir, psikologi dapat memberikan dasar ilmiah yang kuat dalam pengkajian bahasa. Beliau juga mencoba mengkaji hubungan bahasa (linguistik) dengan pemikiran (psikologi). Dari kajian itu beliau berkesimpulan bahwa bahasa, terutama strukturnya, merupakan unsur yang menentukan struktur pemikiran manusia. Beliau juga menekankan bahwa linguistik dapat memberikan sumbangan yang penting kepada psikologi Gestalt, dan sebaliknya psikologi Gestalt dapat membantu disiplin linguistik.

b.      Linguistik dalam Psikologi
Dalam sejarah perkembangan psikologi ada sejumlah pakar psikologi yang menaruh perhatian pada linguistik. John Dewey (1859-1952), pakar psikologi berkebangsaan Amerika, seorang empirisme murni. Beliau telah mengkaji bahasa dan perkembangannya dengan cara menafsirkan analisis linguistik bahasa kanak – kanak berdasarkan prinsip – prinsip psikologi. Umpamanya, beliau menyarankan agar penggolongan psikologi akan kata – kata yang diucapkan kanak – kanak dilakukan berdasarkan makna seperti yang dipahami kanak – kanak, dan bukan seperti yang dipahami orang dewasa dengan bentuk – bentuk tata bahasa orang dewasa. Dengan cara ini, maka berdassarkan prinsip – prinsip psikologi akan dapat ditentukan hubungan antara kata – kata berkelas adverbia dan preposisi disatu pihak dengan kata – kata berkelas nomina dan adjektiva dipihak lain. Jadi, dengan pengkajian kelas kata berdasarkan pemahaman kanak – kanak kita akan dapat menentukan kecenderungan akal (mental) kanak – kanak yang dihubungkan dengan perbedaan – perbedaan linguistik. Pengkajian seperti ini, menurut Dewey, akan memberi bantuan yang besar kepaada psikologi bahasa pada umumnya.
Watson (1878-1958), ahli psikologi behaviorisme berkebangsaan Amerika. Beliau menempatkan perilaku atau kegiatan berbahasa sama dengan perilaku atau kegiatan lainnya, seperti makan, berjalan, dan melompat. Pada mulanya Watson hanya menghubungkan perilaku berbahasa yang implisit, yakni yang terjadi didalam pikiran, dengan yang eksplisit, yakni yang berupa tuturan. Namun, kemudian dia menyamakan perilaku berbahasa itu dengan teori stimulus-respons yang dikembangkan oleh Povlov. Maka, penyamaan ini memperlakukan kata – kata sama dengan benda – benda lain sebagai respons dari suatu stimulus.
            Weiss, ahli psikolodi behaviorisme Amerika. Beliau mengakui adanya aspek mental dalm bahasa. Namun, karena wujudnya tidak memiliki kekuatan bentuk fisik, maka wujudnya itu sukar dikaji atau ditunjukkan. Oleh karena itu, Weiss lebih cenderung mengatakan bahwa bahasa itu sebagai satu bentuk perilaku apabila seseorang menyesuaikan dirinya dengan lingkungan sosialnya. Weiss adalah salah seorang tokoh yang terkemuka yang telah merintis jalan kearah lahirnya psikolinguistik. Karena dialah yang telah berhasil mengubah Bloomfield dari penganut aliran mentalistik menjadi penganut aliran behaviorisme. Weiss juga telah mengemukakan sejumlah masalah yang harus dipecahkan oleh linguistik dan psikologi yang dilihat dari sudut behaviorisme. Di antara masalah – masalah itu adalah sebagai berikut :
  1. Bahasa  merupakan satu kumpulan respons yang jumlahnya tidak terbatas terhadap suatu stimulus.
  2. Pada dasarnya perilaku bahasa menyatukan anggota suatu masyarakat ke alam organisasi gerak saraf.
  3. Perilaku bahasa adalah sebuah alat untuk mengubah dan meragam-ragamkan kegiatan seseorang sebagai hasil warisan dan hasil perolehan.
  4. Bahasa dapat merupakan stimulus terhadap satu respons, atau merupakan satu respons terhadap satu stimulus.
  5. Respons bahasa sebagai satu stimul pengganti untuk benda dan keadaan yang sebenarnya memungkinkan kita untuk memunculksn kembali suatu hal yang pernah terjadi, dan menganalisis kejadian ini dalam bagian – bagiannya.
c.       Kerjasama Psikologi dan Linguistik
Kerjasama secara langsung antara linguistik dan psikologi sebanarnya sudah dimulai sejak 1860 yaitu, oleh Heyman Steintthal, seorang ahli psikologi yang beralih menjadi ahli linguistik, dan Moriz Lazarus seorang ahli linguistik yang beralih menjadi ahli psikologi dengan menrbitkan sebuah jurnal yang khusus membicarakan masalh psikologi bahasa dari sudut linguistik dan psikologi.
Dasar – dasar psikolinguistik menurut beberapa pakar didalam buku yang disunting oleh Osgood dan Sebeok diatas adalah berikut ini :
  1. Psikolinguistik adalah satu teori linguistik berdasarkan bahasa yang dianggap sebagai sebuah sistem elemen yang saling berhubungan erat.
  2. Psokolinguistik adalah satu teori pembelajaran (menurut teori behaviorisme) berdasarkan bahasa yang dianggapnsebagainsatu sistem tabiat dan kemampuan yang menghubungkan isyarat dengan perilaku.
  3. Psikolinguistik adalah satu teori informasi yang menganggap bahasa sebagai sebuah alat untuk menyampaikan suatu benda.
d.      Tiga Generasi dalam Psikolinguistik

1.      Psikolinguistik Generasi pertama
Psikolinguistik generasi pertama adalah psikolinguistik dengan para pakar yang menulis artikel dalam kumpulan karangan berjudul psycholinguistics: A Survey of Theory and Reserch Problems yang disunting oleh Charles E. Osgood dan Thomas A. Sebeok. Titik pandang Osgood dan Sebeok berkaitan erat dengan aliran behaviorisme (aliran perilaku) atau lebih tepat lagi aliran neobehaviorisme. Teori – teori ini mengidentifikasikan bahasa sebagai stu sistem respon yang langsung dan tidak langsung terhadap stimulus verbal dan nonverbal. Orientasi stimulus respons ini adalah orientasi psikologi.
          Tokoh lain dari generasi pertama ini adalah L. Bloomfield. Beliau adalah tokoh linguistik Amerika yang menerima dan menerapkan teori – teori behaviorisme dalam analisis bahaa. Teknik analisis bahasa dan pandangannya tentang hakikat bahasa sama dengan pandangan dan teori psikolinguistik perilaku.
Manusia yang normal sejak lahir telah dilengkapi dengan kemampuan belajar. Oleh sebab itu, kemampuan berbahasa didapat atau dicapai melalui proses belajar. Hal ini menunjukkan bahwa itu harus dipelajari. Dengan kata lain, kemampuan berbahasa adalah satu kemampuan hasil belajar, dan bukan sebagai sesuatu yang diwarisi.
Tokoh lain dari psikolinguistik generasi pertama, dan yang dianggap sebagai tokoh utama adalah B. F. Skonner. Beliau menjadi tokoh yang kemudian ditentang oleh Noam Chomsky yang menganut aliran kognitif dalam proses berbahasa. Namun, teori – teori Skinner inilah yang dianut oleh teori – teori linguistik aliran Bloomfield.

2.      Psikolinguistik Generasi Kedua
                  Karena pada psikolinguiatik generasi pertama tidak menjawab banyak masalah proses berbahasa, dan teori – teori itu kekurangan daya penjelas, maka diperlukan teori yang lain dalam psikolinguistik. Lahirlah teori –teori psikolinguiatik generasi kedua, dengan dua tokoh utamanya yakni Noam Chomsky dan George Miller.
Menurut Mehler dan Noizet, psikolinguistik generasi kedua telah dapat mengatasi ciri – ciri atomistik dari psikolinguistik Osgood-Sebeok. Psikolinguistik generasi kedua berpendapat bahwa dalam proses berbahasa bukanlah butir – butir bahasa yang diperoleh, melainkan kaidah dan sistem kaidahlah yang diperoleh.

3.      Psikolinguistik Generasi Ketiga
Kelahiran psikolinguistik generasi ketiga ini oleh G. Werstch dalam bukunya Two Problems for the New Psycholinguistics diberi nama New Psycholinguistics. Ciri – ciri psikolinguistik generasi ketiga ini adalah sebagai berikut :
            Pertama, orientasi mereka kepada psikologi, tetapi bukan psikologi perilaku. Mereka berorientasi kepada psikologi seperti yang dikemukakan oleh Fresse dan Al Vallon dari perancis, dan mungkin juga kepada psikologi aktivitas dari Uni Sovyet atau seperti ditekankan oleh G. Werstch bahwa terjadi proses yang serempak dari informasi linguistik dan psikologi.
            Kedua, keterlepasan mereka dari kerangka psikolinguistik kalimat dan keterlibatan dalam psikolinguistik yang berdasarkan situasi dan konteks. Ini berarti, analisis psikolinguistik bbukan lagi menentukan kalimat hubungan antara struktur gramatikal dan kaidah semantik model Noam Chomsky dengan teori generatif transformasinya, tetapi hubungan ini diperluas dengan memperhitungkan situasi dan konteks.
            Ketiga, adanya satu pergeseran dari analisis mengenai proses ujaran yang abstrak ke satu analisis psikologis mengenai komunikasi dan pikiran. Pergeseran dari ujaran yang abstrak ke komunikasi dan pikiran ini dikemukakan oleh J. S. Bruner dalam artikelnya berjudul Frol Communication to Language yang dimuat dalam Cognition tahun 1974-5.
            Ketiga ciri utama dari psikolinguistik generasi ketiga ini menunjukkan telah terjadinya satu peningkatan kualitatif dalam perkembangan psikolinguistik di negara – negara Barat. Namun, menurut Leontive (1981) dibandingkan dengan perkembangan linguistik di Eropa, maka osikolinguistik di Rusia sudah lebih dulu berkembang karena sejak awal psikolinguistik di Rusia telah memperhitungkan jurus komunikasi dan pikiran dalam analisas psikolinguistik.

Aliran-aliran Psikolinguistik
1)      Aliran Behavioristik
Teori Behavioristik pertama kali dimunculkan oleh Jhon B.Watson (1878-1958). Dia adalah seorang ahli psikologi berkebangsaan amerika. Dia mengembangkan teori Stimulus-Respons Bond (S – R Bond) yang telah diperkenalkan oleh Ivan P.Pavlov. Menurut teori ini tujuan utama psikologi adalah membuat prediksi dan pengendalian terhadap prilaku, dan sedikitpun tidak ada hubungannya dengan kesadaran. Yang dikaji adalah benda-benda atau hal-hal yang diamati secara langsung, yaitu rangsangan (stimulus) dan gerak balas(respons) [1][1][1].
Eksperimen yang dilakukan oleh Watson dalam membuktikan kebenaran teori behaviorismenya terhadap manusia adalah percobaan terhadap bayi yang bernama albert berusia 11 tahun dan tikus putih. Dimana kesimpulan akhirnya adalah pelaziman dapat merubah prilaku seseorang secara nyata.
Dalam pembelajaran yang didasarkan pada hubungan stimulus respon, Watson mengemukakan dua hal penting:
1. Recency Principle (prinsip kebaruan)
Yaitu Jika suatu stimulus baru saja menimbulkan respons, maka kemungkinan stimulus itu untuk menimbulkan respons yang sama apabila diberikan umpan lagi akan lebih besar daripada kalau stimulus itu diberikan umpan setelah lama berselang.
2. Frequency Principle (prinsip frekuensi)
Menurut prinsip ini apabila suatu stimulus dibuat lebih sering menimbulkan satu respons, maka kemungkinan stimulus itu akan menimbulkan respons yang sama pada waktu yang lain akan lebih besar.
Selain itu. Watson mengatakan bahwa keyakinan pada adanya kesadaran berkaitan dengan keyakinan masa-masa nenek moyang mengenai tahayul. Magis-magis senantiasa hidup. Konsep-konsep warisan masa praberadab ini telah membuat kebangkitan dan pertumbuhan psikologis ilmiah menjadi sangat sulit. Kriteria Watson dalam menentukan apakah sesuatu itu ada atau tidak ada adalah berdasarkan apakah hal tersebut dapat diamati atau tidak dapat diamati.
Selanjutnya Bell (1981: 24) mengungkapkan pandangan aliran behaviorisme yang dianggap sebagai jawaban atas pertanyaan bagaimanakah sesungguhnya manusia memelajari bahasa, yaitu:
1. Dalam upaya menemukan penjelasan atas proses pembelajaran manusia, hendaknya para ahli psikologi memiliki pandangan bahwa hal-hal yang dapat diamati saja yang akan dijelaskan, sedangkan hal-hal yang tidak dapat diamati hendaknya tidak diberikan penjelasan maupun membentuk bagian dari penjelasan.
2. Pembelajaran itu terdiri dari pemerolehan kebiasaan, yang diawali dengan peniruan.
3. Respon yang dianggap baik menghasilkan imbalan yang baik pula.
4. Kebiasaan diperkuat dengan cara mengulang-ulang stimuli dengan begitu sering sehingga respon yang diberikan pun menjadi sesuatu yang bersifat otomatis.

2)      Aliran Kognitif
Menurut teori ini bahasa bukanlah suatu ciri ilmiah yang terpisah, melainkan salah satu diantara beberapa kemampuan yang berasal dari kematangan kognitif. Bahasa di instruksikan oleh nalar. Perkembangan bahasa harus berlandaskan pada percobaan yang lebih mendasar dan lebih umum di dalam kognisi. Jadi urutan-urutan perkembnagan kognitif menentukan perkembangan bahasaMenurut teori kognitif yang utama sekali harus dicapai adalah perkembangan kognitif, barulah pengetahuan dapat keluar dalam bentuk keterampilan berbahasa semenjak lahir sampai umur 18 bulan bahasa belum ada, si anak memahami dunia melalui indranya.
Adapun tokoh yang terkenal dengan teori kognitif ini adalah Noam Chomsky menyatakan bahwa manusia dilahirkan dengan akal yang berisi pengetahuan batin yang berkait dengan sejumlah bidang yang berbeda-beda. Salah satu dari pengetahuan tersebut berkait dengan bahasa. Chomsky menyebut pengetahuan batin yang berkait dengan bahasa ini sebagai Language Acquisition Device atau yang lebih populer sebagai LAD, yang dalam modul disebut sebagai Alat Pemerolehan Bahasa atau APB. Chomsky berpendapat bahwa daya-daya dalam bidang yang berbeda yang disebut di atas, relatif mandiri satu sama lain. Artinya tidak saling berkait. Bahkan dalam kaitan dengan pemerolehan bahasa, Chomsky berpendapat bahwa bagi pemerolehan bahasa, pengetahuan batin saja sudah cukup dan pengetahuan matematis serta pengetahuan logika tidak diperlukan dalam kegiatan ini.
Masih menurut Chomsky behaviorisme (S-R), sangat tidak memadai untuk menerangkan proses pemerolejhan bahasa. Sebab masukan data linguistiknya sangat sedikit untuk membangkitkan rumus-rumus linguistic. pada bagian akhir subpokok bahasan diketengahkan argumen-argumen yang dikemukakan Chomsky dalam mempertahankan APB yang tertuang dalam bentuk empat argumen, yakni (1) keunikan tata bahasa, (2) data masukan yang tidak sempurna, (3) ketidakselarasan intelegensi, dan (4) kemudahan dan kecepatan pemerolehan bahasa anak.

3)      Aliran Mentalistik
Pada subpokok bahasan ini, kita telah membahas sejumlah konsep pendapat-pendapat para teorisi mengenai bagaimana seseorang memahami dan merespons terhadap apa-apa yang ada di alam semesta ini. Kita telah berbicara mengenai pandangan-pandangan kaum mentalis dan kaum bahavioris, terutama dalam kaitan dengan keterhubungan antara bahasa, ujaran dan pikiran. Menurut kaum mentalis, seorang manusia dipandang memiliki sebuah akal (mind) yang berbeda dari badan (body) orang tersebut. Artinya bahwa badan dan akal dianggap sebagai dua hal yang berinteraksi satu sama lain, yang salah sati di antaranya mungkin menyebabkan atau mungkin mengontrol peristiwa-peristiwa yang terjadi pada bagian lainnya. Dalam kaitan dengan perilaku secara keseluruhan, pandangan ini berpendapat bahwa seseorang berperilaku seperti yang mereka lakukan itu bisa merupakan hasil perilaku badan secara tersendiri, seperti bernapas atau bisa pula merupakan hasil interaksi antara badan dan pikiran. Mentalisme dapat dibagi menjadi dua, yakni empirisme dan rasionalisme.
Kedua pendapat ini pun memiliki pandangan-pandangan yang berbeda dalam memahami persoalan gagasan-gagasan batin atau pengetahuan. Semua kaum mentalis bersepakat mengenai adanya akal dan bahwa manusia memiliki pengetahuan dan gagasan di dalam akalnya. Meskipun demikian, mereka tidak bersepakat dalam hal bagaimana gagasan-gagasan tersebut bisa ada di dalam akal. Apakah gagasan-gagasan tersebut seluruhnya diperoleh dari pengalaman (pendapat kaum empiris) atau gagasan-gagasan tersebut sudah ada di dalam akal sejak lahir (gagasan kaum rasional). Bahkan di dalam kedua aliran ini pun, terdapat perbedaan pendapat yang rinciannya akan kita bahas nanti.
Kemudian, diketengahkan pembahasan mengenai empirisme. Dalam kaitan ini telah dibahas kenyataan bahwa kata empiris dan empirisme telah berkembang menjadi dua istilah yang memiliki dua makna yang berbeda. Setelah itu, dibahas pula isu lain yang mengelompokkan kaum empiris, yakni isu yang berkenaan dengan pertanyaan apakah gagasan-gagasan di dalam akal manusia yang membentuk pengetahuan bersifat universal atau umum di samping juga bersifat fisik.