BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Orang
yang memiliki kecerdasan emosional yang rendah biasanya; menyikapi
kritik yang diberikan kepadanya sebagai serangan pribadi bukan sebagai
keluhan yang harus dihadapi, gampang mengkritik tetapi kikir memuji,
menganggap diri kebih dari diri orang lain atau egoistis, tidak
memperhatikan orang disekelilingnya atau lingkungannya, dan marah
menjadi bagian manajemen dirinya.
Banyak
orang yang gagal karena tidak mampu mengelola emosinya. Kelemahan
mengelola emosi itu karena kecerdasan emosinya tidak perna diasah.
Padahal dalam diri manusia terdapat simpul-simpul kecerdasan yang kalau
digesek atau diasah akan dapat tajam dan memiliki kekuatan dalam
mengelola kecerdasan itu.
Orang
dengan keterampilan emosional yang berkembang baik berarti kemungkinan
besar akan bahagia dan berhasil dalam kehidupannya. Menguasai kebiasaan
berpikir yang mendorang produktivitas mereka (Goleman, 1999: 48).
Ternyata kecerdasan intelektual saja tidak cukup bagi seseorang dalam
menjalani hidup ini. Kecerdasan emosional juga amat dipentingkan dalam
hidup ini. Salah satu piranti yang dapat digunakan untuk mengasah
kecerdasan emosional seseorang adalah pembelajaran sastra. Duff dan
Maley (1997: 7) menyebutkan bahwa pembelajran sastra dapat mengatasi
kesulitan bahasa, pemahaman teks yang panjang, pemahaman budaya,
pemahaman acuan, dan konsep, dan penerimaan.
Namun
sejak lama pembelajaran sastra mengalami problematika yang beragam,
salah satunya adalah problematika metode pembelajaran. Sastra hanya
sebatas diajarkan dengan cara tradisional, yakni guru aktif menerangkan
tentang sastra tanpa pernah siswa bersastra secara langsung. Siswa
berada dalam kondisi tabung kosong yang harus mengisi materi-materi
sastra tanpa pernah berhadapan langsung dengan karya sastra.
Atmazaki
(2005) menyebutkan bahwa masalah yang sering terjadi adalah bahwa
pembelajaran sastra belum mampu membuka mata siswa terhadap daya tarik
sastra. Kalau sekedar menghafal nama pengarang, judul karya, dan
periodisasi sastra saja memang belum cukup menarik bagi siswa. Sekedar
menentukan unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik karya sastra, tanpa
mengaitkannya dengan pengalaman siswa juga belum mampu membuka mata
siswa. Sekedar membaca puisi atau menentukan rima juga belum mampu
memunculkan kreativitas pada siswa.
2. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka dapat dirumusan sebagai berikut:
1) Bagaimana hakikat pembelajaran sastra?
2) Apa permasalahan pembelajaran sastra di Indonesia?
3) Bagaimana paradigma pembelajaran sastra?
4) Bagaimana metode kontekstual sebagai alternatif pemecahan problematika pembelajaran sastra?
5) Apa hambatan penerapan kurikulum 2004 dan pendekatan kontekstual?
3. Tujuan Masalah
Dari rumusan masalah di atas dapat diperoleh tujuan sebagai berikut:
1) Mengetahui hakikat pembelajaran sastra.
2) Mengetahui permasalahan pembelajaran sastra di Indonesia.
3) Mengetahui paradigma pembelajaran sastra.
4) Mengetahui metode kontekstual sebagai alternatif pemecahan problematika pembelajaran sastra.
5) Mengetahui hambatan penerapan kurikulum 2004 dan pendekatan kontekstual.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Hakikat Pembelajaran Sastra
Moody
(1996: 15-24) menyebutkan bahwa pembelajaran sastra dapat; membantu
keterampilan berbahasa anak, meningkatkan pengetahuan budaya,
mengembangkan cipta dan rasa, menunjang pembentukan watak. Dengan begitu
dapat dikatakan bahwa sastra merupakan sumber berbagai cita rasa di
antaranya cita rasa moral dan sosial. Oleh karena itu, sastra sangat
layak untuk menjadi sumber pembelajaran bagi para siswa. Siswa yang
belajar sastra diharapkan mempunyai tingkat moral dan sosial yang
tinggi. Hai itu merupakan keinginan dunia pendidikan.
Berbagai
kupasan telah dilakukan berkaitan dengan perlunya sastra menjadi bahan
pembelajaran bagi siswa. Budi Darma (1993) menyatakan bahwa sastra
adalah penghayatan dan juga metafora realitas. Untuk itu menghubungkan
pengalaman batin dengan karya sastra sebagai dunia metafora merupakan
pemercepatan proses menuju ke ranah afeksi.
Kern
(2000: 16-17) memberikan tujuh prinsip berkaitan dengan penerapan
pembelajaran sastra. Ketujuh prinsip itu meliputi (1) interpretasi, (2)
kolaborasi, (3) konvensi, (4) pengetahuan budaya, (5) pemecahan masalah,
(6) refleksi, dan (7) penggunaan bahasa. Prinsip tersebut dalam
penerapannya terintegrasi ke dalam menyimak, berbicara, membaca, dan
menulis, serta ke dalam komunikasi secara umum. Prinsip Kern tersebut
sangat jelas mengisyaratkan bahwa pembelajaran sastra dilakukan dalam
bentuk aktivitas nyata yang dilakukan secara langsung oleh siswa dan
bukan pemindahan isi semata.
Oemarjati
(2005) menegaskan bahwa jika siswa kita hadapkan sebagai subyek
pengajaran, kita harus menyadari bahwa setiap siswa merupakan individu,
sekaligus sesuatu totalitas yamg kompleks, yang menyimpan sejumlah
kecakapan. Dalam kegiatan belajar mengajar, kecakapan itulah yang perlu
dikenali, ditumbuh kembangkan. Berkaitan dengan pengajaran sastra,
kecakapan yang perlu dikembangkan itu adalah yang bersifat (1) indrawi,
(2) nalar, (3) afektif, (4) sosial, dan (5) religius.
Dari
pernyataan di atas, teramat jelas bahwa sastra sangat dibutuhkan bagi
pengembangan generasi muda dalam menjalani kehidupan kelak. Satra
menjadi teramat penting. Untuk memenuhi kebutuhan itu, sastra haruslah
dikemas dengan daya implementasi yang mengedepankan konteks pembelajar.
Namum
penganggapan teramat penting itu hanya sebatas memasukkan sastra dalam
pelengkap pembelajaran bahasa dikelas. Maka pembelajaran sastra tidak
berdiri sendiri. Padahal dari waktu ke waktu semua orang mengatakan
bahwa sastra teramat penting diajarkan di sekolah. Jalan yang dapat
ditempuh, meskipun sastra melekat dalam pembelajaran bahasa Indonesia
adalah dengan mendesain pembelajaran sasta menjadi bermakna dan
berkesan.
2. Permasalahan Pembelajaran Sastra Di Indonesia
Pembelajaran
sastra di Indonesia disajikan secara integratif dengan pembelajaran
bahasa Indonesia. Dampak yang muncul dari pengintergrasian tersebut
adalah (1) ketidakseimbangan bobot materi dan cara penyajiaan bahasa
dengan sastra, (2) guru rata-rata lebih mengedepankan pembelajaran
bahasa dari pada sastra, (3) sastra disajikan dengan gaya yang sama saat
guru mengajarkan bahasa, dan (4) pembelajaran sastra disajikan dengan cara kognitif akibat ketidaktersediaan waktu.
Dampak tersebut juga disebabkan oleh:
1) Penidikan diselenggarakan untuk kepentingan penyelenggaraan bukan untuk anak.
2) Pembelajaran yang diselenggarakan bersifat pemindahan isi. Tugas pengajar hanya sebagai penyampai pokok bahasan.
3) Aspek afektif cenderung terabaikan.
4) Pengajar
selalu mereduksi teks yang ada dengan harapan tidak salah melangkah.
Teks atau buku acuan dianggap segalanya. Jika telah menyelesaikan isi
buku acuan, guru dengan bangganya menyatakan bahwa pembelajaran yang
dijalaninya berhasil.
Dalam
seminar nasional bahasa dan sastra Indonesia III, HPBI di Universitas
Jember, Budi Darma (1993) mengungkapkan bahwa ketidakberhasilan
pembelajaran sastra disebabkan oleh siswa yang terlalu dipatok pada
kognisi. Siswa diminta untuk menghafal riwayat hidup pengarang,
judul-judul buku pengarang, ciri-ciri angkatan, dan hal lain semacam
itu. Kemudian siswa diorientasikan secara praktis melalui ulangan,
kenaikan kelas, dan ujian kelulusan.
Padalah
sastra akan membuat siswa menjadi cerdas secara emosional, moral,
sosial, dan sebagainya. Sebaliknya, siswa yang tidak akan tersentuh oleh
kegiatan bersastra akan menjadi tidak mempunyai kecerdasan emosional.
Orang yang memiliki kecerdasan emosional yang rendah biasanya; (1)
menyikapi kritik yang diberikan kepadanya sebagai serangan pribadi bukan
sebagai keluhan yang harus dihadapi, (2) gampang mengkritik tetapi
kikir memuji, (3) menganggap diri lebih dari diri orang lain atau
egoistis, (4) tidak memperhatikan orang disekelilingnya atau
lingkungannya, dan (5) marah menjadi bagian manajemen dirinya.
Banyak
orang yang gagal karena tidak mampu mengelola emosinya. Kelemahan
mengelola emosi itu karena kecerdasan emosinya tidak perna diasah.
Padahal dalam diri manusia terdapat simpul-simpul kecerdasan yang kalau
digesek atau diasah akan dapat tajam dan memiliki kekuatan dalam
mengelola kecerdasan itu. Kegiatan bersastra dipandang mampu menggesek
atau mengasah emosional siswa. Siswa melalui kegiatan bersastra
mempunyai alternatif emosional karena mengenal berbagai macam realitas
emosional seseorang.
3. Paradigma Pembelajaran Sastra
Freire
(1986) memberikan paradigma baru bagi pendidikan berdasarkan paradigma
kritis. Freire mengacu pada suatu landasan bahwa pendidikan adalah
proses memanusiawikan manusia kembali. Gagasan tersebut berangkat dari
pendidikan yang menjadi pelanggeng dehumanisasi (peniadaan pemanusiawian
manusia). Freire membagi kesadaran manusia dalam belajar ke dalam tiga
kelompok.
Kelompok
pertama dalah kesadaran magis, yakni kessadaran yang tidak mampu
mengetahuai antara faktor atu dengan faktor lainnya. Proses pendidikan
metode tersebut tidak memberikan kemampuan analisis tentang kaitan
antara sistem yang diciptakan dalam proses penelitian dalam pendidikan
dengan permasalahan yang terjadi di masyarakat. Peserta didik secara
dogmatis menerima kebenaran dari pendidikan tanpa ada mekanisme
pemahaman makna setiap konsepsi kehidupan masyarakat.
Kelompok
kedua adalah kesadaran naif, yakni melihat aspek manusia menjadi
penyebab masalah yang berkembang di masyarakat. Pendidikan dalam konteks
naif tersebut tidak mempertanyakan sistem dan struktur pelatihan.
Bahkan sistem dan struktur yang ada dianggap sudah baik dan benar.
Sistem tersebut dianggap given oleh sebab itu tidak perlu
dipertanyakan. Tugas penelitihan atau proses pendidikan adalah
mengarahkan agar peserta didik dapat masuk beradaptasi dengan sistem
yang sudah benar tersebut.
Kelompok
ketiga adalah kesadaran kritis, kesadaran tersebut lebih melihat sistem
dan struktur sebagai sumber masalah. Paradigma kritis dalam pendidikan
melatih peserta didik mampu mengidentifikasi ketimpagan struktur dan
sistem yang ada kemudian mampu melakukan analisis bagaimana sistem
bekerja serta bagaimana mentransformasikannya. Tugas pendidikan dalam
paradigma kritis adalah menciptakan ruang dan keselamatan agar peserta
didik terlibat suatu proses penciptaan struktur yang secara fundamental
baru dan sesuai dengan diri peserta didik.
Berdasarkan
hal di atas, bagi Freire, pendidikan haruslah berorientasi pengenalan
realitas diri manusia dan diri sendiri. Oleh karena itu, pendidikan
harus melibatkan tiga unsur sekaligus dalam hubungan dialektika yang
ajeg, yakni antara pengajar, peserta didik, dan realitas dunia. Yang
pertama dan kedua adlah subyek yang sadar. Sementara yang ketiga adalah
obyek yang tersadari atau disadari. Hubungan dialektis semacam inilah
yang tidak terdapat pada sistem pendidikan mapan selama ini.
Tampaknya
paradigma di atas menjadi salah satu orientasi pengembangan kurikulum
2004 di Indonesia. Mulai tahun 2004, Indonesia menerapkan kurikulum baru
dengan nama kurikulum 2004. Kurikulum tersebut disebut KBK (Kurikulum
Berbasis Kompetensi) dengan ciri berorientasi pada kompetensi yang
dimiliki oleh siswa. Kurikulum 2004 diterapkan dalam rangka menggantikan
kurikulum 1994 yang telah berjalan selama 10 tahun. Kurikulum lama
berorientasi pada isi, materi disajikan secara parsial, siswa dianggap
sebagai obyek, dan muatan materi teramat sesak. Hasilnya siswa hanya
mampu bersastra secara kognitif belaka.
Kurikulum
2004 didesain secara khusus dengan berorientasi pada standar
kompetensi, kompetensi dasar, dan materi pokok. Guru disarankan untuk
mengembangkan sendiri materi dan kompetensi tambahannya. Pembelajaran
sastra disajikan secara terpadu ke dalam menyimak, berbicara, membaca,
dan menulis sastra.
Standar
kompetensi mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia berorientasi pada
hakikat pembelajaran bahasa, yaitu belajar berbahasa adalah belajar
berkomunikasi dan belajar sastra adalah belajar menghargai manusia dan
nilai-nilai kemanusiaannya. Oleh karena itu, pembelajaran Bahasa dan
Sastra Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan siswa untuk
berkomunikasi, baik secara lisan maupun tertulis. Standar kompetensi ini
dilakukan agar siswa siap mengakses situasi dan perkembangan
multiglobal dan local yang berorientasi pada keterbukaan dan
kemasadepanan. Kurikulum ini diarahkan agar siswa terbuka terhadap
beraneka ragam informasi yang hadir di sekitarnya. Di samping itu,
diharapkan mereka dapat menyaring hal-hal yang berguna, belajar menjadi
diri sendiri, dan menyadari akan eksistensi budayanya sehingga tidak
tercabut dari lingkungannya.
Standar
kompetensi ini disiapkan dengan mempertimbangkan kedudukan dan fungsi
bahasa dan Sastra Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa negara
serta sastra Indonesia sebagai hasil cipta intelektual dalam produk
budaya, yang berkonsekuensi
pada fungsi dan tujuan mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia
sebagai (1) sarana pembinaan kesatuan dan persatuan bangsa, (2) sarana
penigkatan pengetahuan dan keterampilan dalam rangka pelestarian dan
pengembangan budaya, (3) sarana peningkatan pengetahuan dan keterampilan
untuk meraih dan pengembangan ilmu, pengetahuan, teknologo, dan seni,
(4) sarana penyebarluasan pemakaian bahasa dan sastra Indonesia yamg
baik untuk berbagai keperluan, (5)sarana pengembangan penalaran, dan (6)
sarana pemahaman beraneka ragaman budaya Indonesia melalui khasanah
kesastraan Indonesia.
Ruang
lingkup standar kompetensi mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia
meliputi aspek kemampuan berbahasa dan kemampuan bersastra. Aspek
kemampuan berbahasa meliputi keterampilan mendengarkan, berbicara,
membaca, menulis yang berkaitan dengan ragam sastr. Sastra memiliki
fungsi utama sebagai penghalus budi, peningkatan kepekaan, dan
kepedulian sosial, penumbuhan apresiasi budaya dan penyaluran gagasan,
imajinasi dan ekspesi secara kreatif dan konstruktif, baik secara lisan
maupun tertulis. Melalui sastra siswa diajak untuk memahami, menikmati
dan menghayati karya sastra. Pengetahuan tentang sastra hanyalah sebagai
penunjang dalam mengapresiasikan karya sastra.
Siswa diharapkan mencapai mencapai berbagai kompetensi yang diperlukan dalam kehidupan mereka
di masyarakat. Pencapaian kompetensi itu setiap kali dapat diukur, pada
akhir bulan, akhir semester, akhir tahun. Banyak jalan atau cara yang
dapat ditempuh untuk membantu siswa mencapai kompetensi-kompetensi itu.
Terpulang pada sekolah atau
daerah menentukan jalan atau cara yang paling sesuai untuk siswa,
mengikuti keadaan setempat. Jalan atau cara apapun dapat dipilih,
asalkan kompetensi yang diharapkan dapat tercapai.
Standar
kompetensi ini merupakan kerangka mata pelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia yang berisi seperangkat kompetnsi yang harus dimiliki dan
dicapai oleh siswa pada setiap tingkatan. Kerangka ini terdiri atas
empat kompnen utama, yaitu (1) stantar kompetensi, (2) kompetensi dasar,
(3) indikator, (4) materi pokok.
Kompetensi
dasar merupakan uraian yang memadai atas kemampuan yang harus dikuasai
siswa dalam berkomunikasi lisan (mendengarkan dan berbicara) dan tulis
(membaca dan menulis) sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia, serta
mengapresiasi karya sastra. Kompetensi ini harus dimiliki dan
dikembangkan secara maju dan berkelanjutan siring dengan perkembangan
siswa untuk mahir berkomunikasi, dan memecahkan masalah. Kompetensi
dasar ini dicapai melalui proses pemahiran yang dilatihkan dan dialami.
Indikator
merupakan uraian spesifik dari kompetensi untuk mencapai kompetensi
komunikatif, yang dapat berupa teks atau nonteks (table, bagan, dsb.),
isi suatu kegiatan atau hasil kegiatan itu sendiri, yang dapat dipakai
sebagai titik tolak untuk mengembangkan kompetensi dasar menjadi bahan
ajar dan idikator menjadi bahan ujian.
Kompetensi
dasar mencakup aspek kemampuan berbahasa dan bersastra. Masing-masing
ini dirinci lagi ke dalam empat subaspek, yaitu keterampilan
mendengarkan, berbicara, membaca. Aspek dan subaspek tersebut disajikan
secara seimbang dan dilaksanakan secara terpadu.
Kompetensi
dasar, indikator, dan materi pokok yang dicantumkan dalam standar
kompetensi ini merupakan bahan minimal yang harus dikuasai siswa. Oleh
karena itu, guru di daerah atau di sekolah dapat mengembangkan,
menggabungkan, atau menyesuaikan bahan yang disajikan dengan keadaan dan
keperluan setempat.
4. Metode Kontekstual sebagai Alternatif Pemecahan Problematika Pembelajaran Sastra
Pembelajaran
sastra setidaknya diperuntukkan bagi pembangunan manusia yang
manusiawi. Oleh karena itu, pembelajaran sastra sudah semestinya betumpu
pada jati diri siswa. Alasan bertumpunya pembelajaran tersebut kepada
siswa karena
1. Setiap anak adalah unik. Anak mempunyai kelebihan dan kelemahan masing-masing.
2. Anak bukan orang dewasa dalam bentuk kecil
3. Dunia anak adalah dunia bermain tetapi materi pelajaran banyak yang tidak disajikan lewat permainan.
4. Usia anak merupakan usia yang paling kreatif dalam hidup manusia.
Sebenarnya,
siswa dalam elajar tidak ada di awan tetapi berada di umi yang selalu
menyatu dengan tempat belajar, waktu, situasi, dan suasana alam dan
masyarakatnya. Untuk itu, metode yang dianggap tepat untuk mengembangkan
pembelajaran sastra adalah metode kontekstual. Sebenarnya, metode
kontekstual (countextual teaching and learning) bukan barang baru. John Dewy sudah mengemukakan pembelajaran kontekstual pada awal abad 20, diikuti oleh Katz (1918) dan Howey & zipher (1989). Ketiga pakar itu menyatakan bahwa program pembelajaran bukanlah sekedar deretan satuan pelajaran (Kasihani dan Astini, 2001).
Pembelajaran
kontekstual adalah konsepsi pembelajaran yang membantu guru
menghubungkan mata pelajaran dengan situasi dunia nyata dan pembelajaran
yang memotivasi siswa agar menghubungkan pengetahuan dan terapannya
dengan kehidupan sehari-hari sebagai anggota keluarga dan masyarakat (Ardiana, 2001).
Metode
kontekstual muncul sebagai reaksi terhadap teori behavioristik yang
telah mendominasi pendidikan selama puluhan tahun. Metode kontekstual
mengakui bahwa pembelajaran merupakan proses kompleks dan banyak faset
yang berlangsung jauh melampaui drill oriented dan metode Stimulus and Response.
Menurut Nur (2001) pengajaran kontekstual memungkinkan siswa
menguatkan, memperluas, dan menerapkan pengetahuan dan keterampilan
akademik mereka dalam berbagai macam tatanan dalam sekolah dan diluar
sekolah agar siswa dalam memecahkan masalah-masalah dunia nyata dan
masalah-masalah yang disimulasikan.
Dalam perkembangannya metode kontekstual terdiri atas berbagai strategi yang di kembangkan oleh berbagai institusi. University of Washington (2001)
mengembangkan metode kontektual dengan strategi (1) pembelajaran
autentik, (2) bembelajaran berbasis inkuiri, (3) pembelajaran berbasis
masalah, dan (4) pembelajaran berbasis kerja.
Johnson (2002) mengembangkan strategi pembelajaran metode kontekstual dengan :
1) Menkankan pemecahan masalah,
2) Menyadari kebutuhan pengajaran dan pembelajaran yang terjadi dalam berbagai konteks seperti rumah, masyarakat, dan pekerjaan,
3) Mengajak siswa memonitor dan mengarahkan pembelajaran mereka sendiri sehingga menjadi siswa mandiri,
4) Mengaitkan pengajaran pada konteks kehidupan siswa yang berbeda-beda,
5) Mendorong siswa untuk belajar dari sesama teman dan belajar bersama, dan
6) Menerapkan penilaian autentik.
Yang
perlu diingat bahwa metode kontekstual merupakan konsep teruji yang
menggabungkan bnayak penelitian terakhir dalam bidang kognitif. Oleh
karena itu, metode kontekstual dapat digunakan dalam pembelajaran
diklat. Pengajaran dan pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and learning atau
CTL) menawarkan strategi pembelajaran yang memungkinkan siswa dalam
belajar lebih bermakna dan menyenangkan. Strategi yang ditawarkan dalam
CTl ini diharapkan dapat membantu siswa aktif dan kreatif. Untuk itu,
dalam menjalankan strategi ini guru dituntut lebih kreatif pula.
Dalam
strategi ini ada tujuh elemenpenting, yaitu: inkuiri (inquiry),
pertanyaan (questioning), kontruktivistik (contructivism), pemodelan
(modeling), masyarakat belajar (learning community), penilaian autentik
(authentic assement), dan refleksi (reflection). Diharapkan ketujuh
unsure ini dapat diaplikasikan dalam keseluruhan proses pembelajaran.
a. Penemuan
Penemuan
(inquiry) merupakan bagian inti kegiatan pembelajaran berbasis
kontekstual. Siswa tidak menerima pengetahuan dan keterampilan hanya
dari mengingat seperangkat fakta-fakta saja, tetapi berasal dari
pengalaman menemukan sendiri. Guru harus selalu merancang pembelajaran
yang bersumber dari penemuan. Misalkan saja, untuk mengajarkan
pengenalan puisi, guru tidak menyampaikan fakta saja melalui ceramah,
melainkan siswa mengamati berbagai potongan tulisan sampai mereka
menemukan ciri puisi. Tentunya, pembelajaran dirancang dengan menarik
dan menantang. Siswa dapat menemukan sendiri tanpa harus dari buku.
Berikut ini siklus penemuan:
1) Observasi
2) Bertanya
3) Mengajukan dugaan
4) Pengumpulan data
5) Penyimpulan.
b. Pertanyaan
Biasanya, pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleeh seseorang berawal dari sebuah pertanyaan. Untuk mengetahui Chairil Anwar, biasanya muncul pertanyaan siapa Chairil Anwar itu? Barulah, seseorang membukabuku, bertanya, dan mendiskusikan Chairil Anwar.
Pertanyaan berguna untuk mendorong, membimbing dan menilai kemampuan
siswa. Bagi siswa, pertanyaan berguna untuk menggali informasi, mengecek
informasi yang didapatnya, mengarahkan perhatian, dan memastikan
penemuan yang dilakukannya.
c. konstruktivistik
siswa
perlu dibiasakan memecahkan masalah, menemuka sesuatu yang berguna bagi
dirinya, dan bergelut dengan ide-idenya. Dengan begitu, siswa dapat
mengkonstruksikan gejala-gejala dengan pemikirannya sendiri.
Kontruktivistik merupakan pola berpikir (filosofis) metode kontekstual,
yaitu bahwa pengetahuan dibangun sedikit demi sedikit yang hasilnya
diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak seketika. Manusia
harus mengkonstruksikan pengetahuan dan memberi makna melalui pengalaman
tidak melalui ingatan dan hafalan saja.
Dalam
belajar bersastra, guru tentunya tidak berceramah tentang cara menulis
karya sastra tetapi menyuruh siswa langsung menulis karya sastra. Dari
pengalaman menuliss itu, siswa akan tahu tentang apa dan bagaimana
menulis itu. Dengan begitu, siswa dapat mengkontruksikan konsep dasar
menulis karya sastra itu. Dengan begitu, siswa dapat mengkonstruksikan konsep
dasar menulis karya sastra itu. Biasakanlah siswa melakukan
mengidentifikasi, mendemonstrasikan, menciptakan, membaca langsung,
berbicara, dan seterusnya.
Sebagai
guru, Guru perlu (1) menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi
siswa; (2) memberikan kesempatan siswa menemukan dan menerapkan ide
sendiri; dan (3) menyadarkan siswa agar menerapkan strategi mereka
sendiri dalam belajar. Dengan begitu, pengetahuan tumbuh dan berkembang
melalui pengalaman. Pemahaman berkembang semakin dalam dan semakin kuat
apabila selalu diuji dengan pengalaman baru.
d. Pemodelan
Pernahkah
Guru menunjukkan rekaman membaca puisi kepada siswa agar siswa tahu
bahwa membaca puisi yang indah dan bagus itu seperti suara dari rekaman?
Jika pernah, berarti Guru telah melakukan pemodelan. Pemodelan adalah
pemberian model agar siswa dapat belajar dari model tersebut. Bisa jadi,
Guru memberikan model karya tulis, model cerpen, model novel,
danseterusnya. Dari model itu, siswa mengidentifikasi selanjutnya
membuat seperti model yang ditunjukkan. Bisa jadi, Guru menghadirkan
sastrawan ke dalam kelas sebagai model atau menghadirkan siswa lain yang
cakap dalam bersastra.
Dalam
kontekstual, guru bukanlah model satu-satunya. Model dapat diambil dari
mana saja. Model dapat dirancang dengan melibatkan siswa. Seorang siswa
dapat ditunjuk untuk menjadi model di hadapan teman lainnya, misalnya
untuk gaya membaca puisi tertentu.
e. Masyarakat Belajar
Kerjasama
dengan orang lain dapat memberikan pengalaman belajar bagi siswa. Siswa
dapat mengembangkan pengalaman belajarnya setelah berdiskusi dengan
temannya. Masyarakat belajar menyarankan bahwa hasil pembelajaran
diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Hasil belajar diperoleh dari
bertukar pendapat dengan temannya, dengan orang lain, antara yang tahu
dengan yang belum tahu, di ruang kelas, di ruang lain, di halaman, di
pasar, atau dimanapun.
Dalam
kelas yang kontekstual, Guru disarankan selalu melaksanakan
pembelajaran dalam kelompok belajar. Siswa belajar dikelompok yang
anggota-anggotanya diharapkan heterogen. Yang pandai mengajari yang
lemah. Yang tahu berada di kelompok yang belum tahu. Yang cepat
menangkap berada satu kelompok dengan yang lambat. Kelompok siswa
upayakan dapat selalu bervariasi dari segi apapun.
Masyarakat
belajar dapat terjadi jika terjadi komunikasi dua arah atau lebih. Guru
berdialog dengan siswa bukan berarti Masyarakat Belajar. Kemudian,
kegiatan belajar akan berjalan dengan baik apabila kelompok upayakan
terbuka, bebas bberbicara, dan saling aktif. Fungsi guru sebagai
fasilitator dibutuhkan dalam konteks Masyarakat Belajar tersebut.
f. Penilaian Autentik
Perkembangan
belajar siswa tentunya perlu diketahui Guru. Dalam kontekstual,
perkembangan belajar siswa dapat diketahui melalui pengumpulan data dari
aktifitas belajar siswa secara langsung di kelas. Penilaian tidak
dilakukan di belakang meja atau rumah saja tetapi juga di saat siswa X
meskipun tidak banyak omong di kelas ternyata nilainya bagus.. sedangkan
siswa Y yang banyak mendebat, berbicara, dan bercerita mendapatkan
nilai rndah karena dalam ujian tulis bernilai rendah. Untuk itu, guru
perlu mengupayakan nilai siswa berasal dari sesuatu yang autentik.
Data yang diperoleh dari siswa haruslah dari situassi nyata. Guru tidak boleh ngaji
(ngarang biji). Nilai yang diperoleh siswa memang mencerminkan keadaan
siswa yang sebenarnya. Dapatkah guru berlaku seperti itu? Jawabannya, Guru harus dapat memberikan penilaian autentik jika menginginkan menjadi guru yang ekselen.
Penilaian
autentik dapat diperoleh melalui projek, PR, kuis, karya siswa,
presentasi, demonstrasi, laporan, jurnal, hasil tes tulis, karya tulis,
atau yang lainnya. Dengan begitu, penilaian autentik benar-benar
menggambarkan proses siswa dalam belajar dari awal sampai akhir.
Penilaian dilaksanakan secara berkesinambungan, terintegrasi, terbuka
dan terus-menerus.
g. Refleksi
Pernakah
Guru mengungkapkan kembali apa-apa yang pernah dialami sebelumnya? Jika
pernah, berarti Guru telah melakukan refleksi. Ungkapan kembali itu
tentunya dengan kalimat sendiri, singkat, atau bahkan dalam bentuk
nyanyian. Jadi, refleksi adalah kegiatan merenungkan kembali,
mengingat kembali, mengkontruksi ulang, atau membuat inti pengalaman.
Dengan begitu, kalau refleksi diterapkan pada siswa di kelas, siswa
berarti telah mengalami pengendapan pengetahuan atau keterampilan yang
telah dilakukanya.
Refleksi
merupakan respon terhadap pengalaman yang telah dilakukan, aktivitas
yang baru dijalani, dan pengetahuan yang baru saja diterima. Dengan
merefleksikan sesuatu, siswa merasa memperoleh sesuatu yang berguna bagi
dirinya tentang apa yang baru dipelajari. Refleksi tersebut dapat
dilakukan per bagian, di akhir jam pelajaran, di akhir bab/tema, atau
dalam kesempatan apapun. Realilsasi refleksi dapat berupa pernyataan
spontan siswa tentang apa yang diperolehnya hari itu, lagu, puisi, kata
kunci, cerita siswa, cerita guru, catatan dilembar kertas, diskusi, dan
lain-lainya.
5. Hambatan Penerapan Kurikulum 2004 dan Pendekatan Kontekstual
Saat
ini, banyak guru yang kebingungan saat menerapkan pendekatan
kontekstual. Kebingungan tersebut terletak pada bagaimana menerapkan
secara langsung di kelas. Banyak guru yang saat ini merasa nyaman dalam
mengajar di kelas dengan model-model yang mereka lakukan selama ini.
Zona aman mereka telah kukuh dan kuat. Menurut mereka mengajar itu sama
dengan menerangkan di depan kelas. Begitu ada sesuatu yang baru, banyak
guru yang bertanya-tanya sambil bernada minor.
Ada
beberapa hambatan mengapa kurikulun 2004 sulit untuk dilaksanakan
secara maksimal. Hambatan tersebut adalah hambatan internal dan
eksternal guru. Hambatan internah guru pertama, guru mempunyai kebiasaan dalam mengajar yang sudah melekat erat dalam prilaku ddi kelas dan otomatis. Kedua, kemampuan guru yang teramat rendah. Dan yang ketiga, budaya instant, suka menerabas, dan jalan pintas mulai melekat dalam diri guru.
Hambatan eksternal di antaranya adalah pertama, tidak tersedianya media dan sarana yang menunjang guru untuk melakukan pembelajaran yang ber-kurikuulum 2004. Kedua, kepala sekolah dan pengawas yang kurang mendukung kiprah yang dilakukan oleh guru. Dan yang ketiga, dinas yang menangani pendidikan masih setengah hati dalam menyosialisasikan kurikulum 2004.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Perubahan
kurikulum indonesia tampaknya membawa harapan baru dalam perubahan pola
pembelajaran di kelas. Asalkan berbagai hambatan pelaksanaan kurikulum
2004 dapat segera diatasi. Begitu pula, pembelajaran sastra diharapkan
turut berubah menjadi pembelajaran yang menarik, berkesan, dan bermakna
adalah pembelajaran konstektual.
Mari
kita lihat pengalaman masa lalu, mungkin tidak semua orang dapat
menjadi Thomas Alfa Edison yang menggemparkan dunia dengan 1093 paten
dan hasilnya sampai kini digunakan oleh manusia di dunia ini tanpa
mengenal suku, bangsa, dan
negara. Akan tetapi, jika setiap bayi didorong dengan hangat, mereka
dapat memiliki gairah tak terpuaskan akan petualangan dan eksplorasi
yang sama dengan Edison, yang dapat memotivasi para penemu dan ilmuan
besar.
Hal
itu dapat diciptakan dan dikondisikan kepada siswa. Siswa dapat belajar
dengan sangat baik jika berada dalam kondisi ideal dengan kasih sayang,
kehangatan, dorongan, dan dukungan. Bila hal itu terus berlanjut,
kesenangan dan kecepatan belajar dapat melekat erat dalam diri siswa
(Dryden dan Vos, 2000:281). Keberhasilan usaha seperti yang tergambar
diatas salah satunya ditentukan oleh metode pembelajaran yang dibangun
oleh guru.
2. Saran
Semoga
apa yang kami kerjakan dapat bermanfaat bagi teman-teman. Kami
menyadari dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan, oleh
karena itu saran dari teman-teman sangat kami butuhkan.
DAFTAR PUSTAKA
Ardiana, Leo Idra, 2001. Pembelajaran Kontekstual. Makalah.
Atmazaki.
2005. “Pembelajaran Kemampuan Bersastra: Motovasi, Inisiatif,
Kreatifitas, dan Refleksi” dalam Konferensi Internasional Kesusasteraan
XVI—HISKI Palembang, 18—21 Agustus 2005
Brown, H. Douglas. 1987. Principles of Language Learning and Teaching. New Jersey: Prentice-Hall.
Dahar, Ratna Wilis. 1989. Teori-Teori Belajar. Jakarta: Erlangga.
Darma, Budi. 1993. Apresiasi Sastra:
Apresiasi Terhadap Metafora. dalam Seminar Nasional Bahasa dan Sastra
Indonesia III. Kerja sama HPBI dengan Universitas Jember. 2-4 Desember
1993.
Depdikbud. 2003. Kurikulum 2004: Standar Kompetensi Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Jakarta: Depdikbud.
De Porter, Bobbi dkk. 1999. Quantum Learning. Bandung: Kaifa.
---------. 1999. Quantum Bussines. Bandung: Kaifa.
---------. 2001. Quantum Teaching. Bandung: kaifa.
Dryden, Gordon dan Vos, Jeanette. Revolusi Cara belajar (bagian I dan II). Bandung: Kaifa.
Fakih, Mansur, dkk. 2001. Pendidikan Populer, Membangun kesadaran Kritis. Jogjakarta: Insist dan Read Book.
Fairclough, Norman. 1995. Kesadaran Bahasa Kritis (trj. Hartoyo). Semarang: IKIP Semarang Press.
Finn, Patrick J. 1993. Helping Children Learn Language Art. New York: Longman.
Hasan, Fuad. 2002. “Catatan Pengantar Perihal Gagasan ‘Sastra Masuk Sekolah’’’ dalam Sastra Masuk Sekolah. (Riris Toha K. Sarupaet—ed.). magelang: Indonesia.
Ibrahim, Muslimin, dkk. 2000. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: Universitas Press UNESA.
Johnson, Elaine B. 2002. Contextual Teaching and Learning. California: Corwin Press, Inc.
Kern, Richard. 2000. Literacy and Language Teaching. Oxford: Oxford University Press.
Moody H.L.B. 1989. Metode Pengajaran Sastra. (Saduran B. Rahmanto). Jogjakarta: Kanisius.
Nur, Muhammad. 2000. Strategi-strategi Pembelajaran. Surabaya: Pusat Studi Matematika dan IPA Sekolah, UNESA.
Nur, Muhammad dan Wikandari, Prima Retno. 2000. Pengajaran Berpusat Kepada Siswa dan Pendekatan Konstruktivis dalam Pengajaran. Surabaya: Pusat studi matematika dan IPA Sekolah, UNESA.
Oemarjati,
Boen S. 2005. “Pengajaran Sastra Pada Pendidikan Menengah di Indonesia:
Quo vadis?” dalam Konverensi Internasional Kesusastraan XVI-HISKI
Palembang, 18-21 Agustus 2005.
Rooijakters, 1982. Mengajar dengan Sukses. Jakarta: Gramedia.
Sindhunata (ed.). 2000. Membuka Masa Depan Anak-anak Kita, Mencari Kurikulum Pendidikan Abad XXI. Jogjakarta: Kanisius.
Subyakto, Sri Utari. 1993. Metodologi Pengajaran Bahasa. Jakarta: Gramedia.
Suyatno dan Subandiyah, heny. 2002. Metode Pembelajaran. Jakarta: Modul Pelatihan Guru Terintegrasi Berbasis Kompetensi.
Suyatno. 2004. Teknik Pembelajaran Bahasa dan Sastra. Surabaya: SIC.
Suyatno. 2004. Pendekatan Kontekstual Sebagai Alternatif Pembelajaran Sastra yang Bermakna dan Berkesan. (Makalah Seminar). Brunai Darussalam: dewan Bahasa Brunai Darussalam.
Suyatno. 2005. Permainan Penunjang Pembelajaran Bahasa dan Sastra. Jakarta: Grasindo.
Shor, Ira dan Freire, Paolo. 2001. Menjadi Guru merdeka, Petikan Pengalaman. (Terjemahan Nasuir Budiman). Jogjakarta: LKIS.