PROBLEMATIKA PEMBELAJARAN SASTRA: TINJAUAN PADA ASPEK GURU
Pendahuluan
Sejak
kapankah muncul keluhan ketidakpuasan atas pengajaran sastra? Ajip
Rosidi, sebagaimana dikutip Rusjana (1984:324), mengatakan bahwa sudah
sejak kira-kira 1955 masalah pengajaran sastra, khususnya apresiasi
sastra, diperbincangkan oleh sastrawan dan pengajar atau guru sastra
karena dirasakan tidak memenuhi harapan. Jika demikian, bahasa Indonesia
(termasuk sastra Indonesia) yang diajarkan di sekolah-sekolah sejak
permulaan kemerdekaan bangsa (Burhan, 1971:9), setelah kurang lebih satu
dasawarsa, berdasarkan amatan Burhan dinilai belum terkuasai dengan
baik. Dengan kata lain, pengajaran bahasa dan sastra Indonesia belum
berhasil melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya.
Tampaknya,
sampai kini (2004) keluhan itu belum sirna. Sakdiyah, salah seorang
guru bahasa Indonesia, mengakui bahwa dirinya belum berhasil
menyelenggarakan pembelajaran sastra yang apresiatif, menurutnya masih
relatif kecil/sedikit guru bahasa Indonesia dapat berperan sekaligus
sebagai guru sastra (Sakdiyah, 2004:4). Walaupun keberhasilan
pembelajaran sastra ditentukan oleh banyak aspek, tulisan ini bermaksud
memperbicangkan problematika pembelajaran sastra ditinjau dari salah
satu aspek, yaitu guru. Pembahasan meliputi (1)pendidikan prajabatan
guru sastra, (2)kompetensi guru sastra, (3)profesionalisasi guru sastra,
dan berlanjut pada pengajuan (4)solusi, walaupun sekadar sebagai
alternasi.
1. Pendidikan Prajabatan Guru Sastra
Kualitas
guru, termasuk guru sastra, pertama-tama ditentukan oleh pendidikan
prajabatan yang diperolehnya di Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan
(LPTK) (Jalal dan Supriadi, 2001:245). Di lembaga itulah, calon guru
digembleng sehingga beroleh kemampuan (pengetahuan dan keterampilan)
serta sikap-sikap keguruan yang dapat digunakan sebagai bekal
penyelenggraan pembelajaran di sekolah-sekolah. Hal itu berarti mutu
LPTK (kurikulum, tenaga akademik, sarana dan prasarana, sistem
pembelajaran, dan lain-lain) berkorelasi dengan mutu lulusannya.
Pada
segi ini, dunia pendidikan di Indonesia pernah mengalami situasi yang
kurang menguntungkan bagi peningkatan mutu lulusan. Pada dasawarsa
80-an, bermunculan LPTK swasta bersamaan dengan booming-nya pendidikan tinggi yang lain. Hal tersebut mengakibatkan kurang –untuk tidak mengatakan tidak-
terkontrolnya mutu LPTK beserta lulusannya. Jumlah lulusan meledak,
tetapi mutunya pantas dipertanyakan, semenatara pada saat yang sama
kebutuhan guru juga tinggi dan sistem seleksi atau perekrutannya juga
masih longgar. Terjadilah yang harus terjadi: seperti apapun mutu
lulusan LPTK, mereka terangkat menjadi guru (bahasa dan sastra). Oleh
karena itu, bukan tidak mungkin bahwa problematika pembelajaran sastra
di sekolah-sekolah yang sekarang ini masih terjadi diakibatkan oleh guru
yang kurang bermutu tersebut.
Sungguhkah
LPTK secara umum ikut berkontribusi pada timbulnya problematika
pembelajaran sastra di sekolah-sekolah? Dari segi kurikulum, selama ini
kurikulum LPTK disita secara berlebihan oleh kelompok matakuliah dasar
umum (MKDU atau MPB) yang tidak secara langsung menyumbangkan
pengetahuan dan keterampilan terhadap pembentukan kompetensi dan
profesionalisasi guru.
Sekadar
contoh, dari 156 SKS yang dibebankan pada mahasiswa Jurusan Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia, 12 sks untuk MKU, 13 sks untuk MKDK, 19 sks
MKK, 94 sks MKBS, dan 18 sks untuk pilihan. MKU adalah kelompok mata
kuliah yang betujuan membentuk kepribadiaan keindonesiaan, MKDK dan MKK
adalah kelompok matakuliah yang bertujuan membekali pengetahuan dan
keterampilan serta sikap keguruan, dan MKBS adalah kelompok matakuliah
yang bertujuan membentuk kepakaran dalam bidang studi, sedang pilihan
adalah kelompok matakuliah paket yang membekali keterampilan kerja
tertentu yang masih bergayut dengan bidang studi. Jadi, 30 sks atau
hampir 20 persen (MKU dan pilihan) tidak berkait langsung dengan
pembentukan kompetensi dan profersionalisasi keguruan, dan hanya 32
sks atau 20 persen (MKDK dan MKK) yang berkaitan dengan
profesionalisasi dan kompetensi keguruan, dan hanya 16 sks MKBS atau
sekitar 11 persen yang berkaitan dengan sastra (apresiasi puisi, teori
sastra, sejarah sastra, kritik sastra, kajian puisi, kajian prosa fiksi,
apresiasi prosa fiksi, sastra bandingan). Bagaimana mungkin dengan 16
sks matakuliah sastra, dan 32 sks MKDK dan MKK (yang juga tidak terlalu
spesifik pada sastra) lulusan LPTK dapat menjadi guru sastra yang
bermutu?
Dengan
demikian selama ini LPTK memberikan tekanan lebih besar (94 sks atau 60
persen lebih) pada pembekalan ilmu pengetahuan bidang studi, sementara
di pihak lain kurang dalam pembentukan kepribadian kependidikan dan
profesionalisasi. Kurangnya pembentukan aspek kepribadian kependidikan
itu telah menghasilkan lulusan yang rendah komitmennya terhadap profesi,
termasuk komitmen keteladanan bagi para pembelajar (Jalal dan Supriadi,
2001:246). Singkatnya, guru bahasa tidak dapat digugu dan ditiru dalam
tutur bahasanya, demikianpun guru sastra tidak dapat digugu dan ditiru
sikap apresiatifnya terhadap sastra.
Itupun
belum dikaitkan dengan proses pembelajarannya, yang juga berkait dengan
dosen, sarana dan prasarana di LPTK tersebut. Meskipun tidak sebagai
generalisai, Gunharjo (2002:1) mencatat bahwa selama ini dosen sastra
kurang bergaul dengan dunia sastra, mulai dengan kegiatan sastra di
kampus hingga keterlibatannya di luar kampus. Buku-buku sastra yang
tersediapun di samping terbatas jumlahnya, koleksinya tidak merekam
seluruh repertoar sastra sejak masa lampau hingga yang mutakhir. LPTK
tidak menyediakan atmosfir atau lingkungan bersastra bagi mahasiswa
calon guru sastra. Al hasil lulusan LPTK, masih menurut Gunharjo,
ketinggalan zaman alias kuper.
Bagaimana
halnya dengan mahasiswa LPTK? Oleh karena penghargaan masyarakat (dan
pemerintah) terhadap profesi keguruan dan tenaga kependidikan lainnya
masih rendah, calon mahasiswa yang memasuki LPTK sebegaian besar berasal
dari kelas ekonomi menengah ke bawah dengan latar belakang prestasi
akademik rata-rata. Profesi guru pada umumnya tidak menarik bagi calon
mahasiswa. Oleh karena itu, unsur keterpaksaan memasuki LPTK selalu saja
ada. Dalam kondisi seperti itu, tidaklah relevan membicara profesi guru
sebagai sebuah panggilan atau minat. Bagaimana dapat diharapkan mereka
optimal terlibat dalam proses pembelajaran di LPTK, jika keterpaksaan
atau tanpa minat menghinggapinya? Bagaimana dapat mencapai kualitas
maksimal, jika mereka tidak optimal?
2.Kompetensi Guru Sastra
Sesungguhnya
harus diakui bahwa sampai saat ini tidak ada guru sastra yang melulu
mengajarkan sastra, tetapi pada umumnya guru sastra dirangkap secara
eksofisio oleh guru bahasa. Memang dalam pelaksanaan Rentjana Pendidikan dan Pengadjaran 1968,
mata pelajaran Bahasa Indonesia pernah muncul trikotomi guru bahasa
Indonesia atas guru tata bahasa, guru pengetahuan atau kemahiran bahasa,
dan guru kesusastraan sebagai akibat pembagian mata pelajaran bahasa
Indonesia atas (1)kemahiran bahasa, (2)tata bahasa, dan (3)kesusastraan
(Yohanes, 1988: 174-175). Walaupun pada saat pemberlakuan Kurikulum 1975 trikotomi
itu masih terjadi, namun kecenderungan untuk menyatukan sembilan pokok
bahasan –tata bunyi, tata bentukan, tata kalimat, paragraf, gaya bahasa,
kosa kata, diskusi, sastra, dan menulis- eliminasi trikotomi terjadi
juga, dan menuju pada integrasi pada satu guru. Lebih-lebih, ketika Kurikulum 1984
yang menganut pengembangan materi secara spiral dan penyajian dalam
sistem unit, pengajaran pokok bahasan apresiasi bahasa dan sastra harus
diintegrasikan dengan kelima pokok bahasan lain (membaca, kosa kata,
struktur, menulis, dan pragmatik), maka guru sastra sekaligus sebagai
guru bahasa, atau sebaliknya. Begitupun pada pemberlakuan Kurikulum 1994 yang berpendekatan integratif, tematis, dan komunikatif.
Penyatuan
materi pembelajaran sastra dengan materi pembelajaran bahasa pada
kurikulum-kurikulum tersebut, yang mengimperasi pengampuannya pada
seorang guru, berakibat tidak menggembirakan dalam pelaksanaannya.
Guru-guru yang tidak berminat pada sastra (karena suatu alasan), bisa
jadi melewati begitu saja materi/pokok bahasan sastra. Tentu saja,
sebaliknya, guru-guru yang berminat ke sastra boleh jadi menganaktirikan
materi/pokok bahasan kebahasaan. Oleh sebab itu, bisa terjadi pada
sekolah yang sama karena perbedaan guru yang mengampu mata pelajaran
bahasa pada kelas paralel akan ditemui perbedaan pembelajaran.
Kompetensi
macam apakah yang seharusnya dimiliki oleh guru sastra? Pertama, perlu
dipertegas lebih dahulu esensi pembelajaran sastra, apakah pembelajaran
sastra itu. Boen S. Oemarjati mengatakan bahwa esensi pengajaran sastra
adalah memperkenalkan kepada siswa nilai-nilai yang dikandung dalam
karya sastra, dan mengajak siswa ikut menghayati pengalaman-pengalaman
yang disajikan (Oemarjati, 1991b:61). Oleh karena itu, seorang guru
sastra pasti dituntut untuk juga mengenal nilai-nilai dalam karya
sastra, agar ia dapat juga mengenalkannya kepada para siswanya. Untuk
dapat mengenali nilai-nilai tersebut, mau tidak mau ia harus menggauli
karya sastra.
Hakikat
tersebut mengimperasi bahwa kompetensi guru sastra tidak lain adalah
seorang penikmat (baca: apresiator). Beach dan Marshall (1990:15-44)
mengintroduksi perlunya guru sebagai pembaca sastra, teacher as a literature reader.
Hal itu berarti seorang guru sastra harus memiliki kegemaran membaca,
menggumuli, atau menikmati karya sastra. Ia harus menaruh kesenangan
bahkan kecintaan terhadap sastra. Pengalaman reseptif yang demikian akan
sangat membantu dirinya dalam pengelolaan pembelajaran sastra yang
diselenggarakannya. Bagaimana guru itu akan dapat menerima perasaan iba
dan haru para siswa setelah membaca Lintang Kemukus Dini Hari
karya Ahmad Tohari, jika ia sendiri belum pernah ‘menyaksikan’ Srintil,
si pemberontak tradisi peronggengan, yang dikhianati nasibnya?
Dalam
konteks inilah, Oemarjati (1991a:44-47) menekankan perlunya pengalaman
baca bagi seorang guru sastra sebagai bagian penciptaan wibawa guru.
Terlebih-lebih dalam kondisi perkembangan sekarang, dimungkinkan karena
daya ofensif dan eksploratifnya, siswa lebih dahulu mengetahui dan
membaca karya sastra termutakhir sementara sang guru lebih belakangan.
Hal seperti itu dapat dihindari manakala guru sastra menempatkan dirinya
sebagai penikmat sastra juga. Secara begitu akan terbangun komunikasi
atau keakraban guru-siswa-karya sastra (Oemarjati, 1992:198-199).
Guru
sastra yang gemar membaca karya sastra, menurut Tuloli (1992:667), akan
berpengaruh positif kepeda siswanya. Ia akan berwibawa di hadapan
siswanya, serta dapat memberikan motivasi cara mempelajari karya sastra
yang baik. Keteladanan guru sastra sebagai pembaca karya sastra
diperlukan dalam pembelajaran sastra.
Kedua, haruslah diingat juga tujuan dan ruang lingkup pembelajaran sastra. Kurikulum 2004
yang berbasis kompetensi menggariskan bahwa tujuan dan fungsi mata
pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia sebagai (1)sarana pembinaan
kesatuan dan persatuan bangsa, (2)sarana peningkatan pengetahuan dan
keterampilan dalam rangka pelestarian dan pengembangan budaya, (3)sarana
peningkatan pengetahuan dan keterampilan untuk meraih dan mengembangkan
ilmu, pengetahuan, teknologi, dan seni,
(4)sarana penyebarluasan pemakaian bahasa dan sastra Indonesia yang baik
untuk berbagai keperluan, dan (5)sarana pengembangan penalaran, serta
(6)sarana pemahaman keberanekaragaman budaya Indonesia melalui khasanah
kesastraan Indonesia (Depdiknas, 2003: 3). Selanjutnya, ruang lingkup
mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dibedakan atas (1)kemampuan
berbahasa, dan (2)kemapuan bersastra. Ruang lingkup kemampuan bersastra
meliputi keterampilan mendengarkan, berbicara, membaca, menulis beragam
sastra.
Lebih
lanjut, dalam standar kompetensi ditetapkan: (1)apresiasi sastra berupa
berapresiasi sastra dalam berbagai jenis dan bentuk (a)mendengarkan
karya sastra yang disajikan atu dibacakan dan memhami pikiran, perasaan,
dan imajinasi yang terkandung di dalamnya, (b)membaca karya sastra
tulis, serta (2)ekspresi sastra berupa (a)menulis karya sastra, dan
melisankan karya sastra (Depdiknas, 2003:4).
Berdasarkan
tujuan, ruang lingkup, dan standar kompetensi tersebut, mau tidak mau
seorang guru sastra juga harus memiliki kompetensi menulis karya sastra.
Dalam kadar tertentu, seorang guru sastra juga seorang pencipta sastra,
atau pembuat sastra. Ia mesti memiliki sedikit (syukur banyak)
pengalaman kreatif atau ekspresif sastra. Entah dalam bentuk puisi atau
cerpen atau lainnya, ia pernah menulis karya sastra. Bagaimana ia dapat
mewujudkan tujuan, ruang lingkup dan standar kompetensi yang digariskan
kurikulum, jika guru sastra tidak memiliki pengalaman kreatif atau
ekspresif tersebut?
Akan
menjadi semakin lengkap jika guru sastra juga menjadi seorang pengamat
sastra (Yohanes, 1992:5). Hal itu berarti ia tertarik dan mengikuti
perkembangan dunia sastra. Ia tidak melewatkan tulisan ihwal sastra yang
ditemukan dalam koran atau majalah yang sedang dibacanya. Syukurlah
jika ia memburu tulisan-tulisan sastra bukan sekadar menunggunya, dengan
berlangganan Prosa, Kalam, Warta, Basis, dan sejenisnya.
Persoalan
menjadi lain, dan problematika pembelajaran sastra menjadi mengemuka
ketika kita berhitung berapa banyak guru sastra yang memenuhi kompetensi
sebagai penikmat, pembuat, dan pengamat sastra? Dengan hiperbolis
Sakdiyah (2004:1) mencatat bahwa di sekolah-sekolah (SD sampai dengan
SMU) belum ada guru sastra yang mumpuni, kalaupun ada dapat dihitung
dengan jari. Catatan itu menunjukkan bahwa guru sastra dengan kompetensi
sebagai penikmat, pembuat, dan pengamat masih sedikit. Lebih-lebih jika
hal tersebut dikaitkan pada fakta tidak semua guru bahasa dan sastra
berkewenangan secara akademik.
Mengapa
demikian? Paling tidak satu di antara sepuluh guru bahasa dan sastra
Indonesia tidak berlatar pendidikan bahasa dan sastra. Masih ada
sekolah-sekolah yang menyerahkan pengampuan mata pelajaran bahasa dan
sastra Indonesia pada guru yang tidak berkewenangan untuk itu karena
pelbagai alasan, seperti pemenuhan jam mengajar. Bimsalabim, jadilah
guru BP, guru agama, guru olah raga mengajarkan (bahasa) dan sastra.
Lebih parah lagi jika ditengok kondisi pembelajaran sastra di
sekolah-sekolah yang dikelola (baca: diawasi, dikontrol) oleh departemen
selain Depdiknas, seperti di madrasah-madrasah (MI, MTs, MA baik negeri
maupun swasta) yang dikelola oleh Departemen Agama. Di lembaga-lembaga
pendidikan tersebut terlalu jauh dari angan untuk berbicara tentang guru
sastra yang berkompetensi.
3. Profesionalisasi Guru Sastra
Sangatlah
ideal dunia pembelajaran sastra jika para gurunya terkategori sebagai
tenaga profesional, yaitu memiliki keahlian dan kepakaran di bidang
sastra. Dengan kata lain, ia harus menguasai teori sastra, apresiasi
sastra, kritik sastra, serta didaktik metodik sastra. Untuk itu,
diperlukan pendidikan dan pelatihan dalam jabatan (in-service training)
yang disebut sebagai profesionalisasi guru. Hal itu perlu dilakukan
untuk meningkatan mutu guru, dan menyegarkannya dengan pengetahuan,
keterampilan, dan metode pembelajaran yang inovatif, di samping juga
bertujuan agar tidak terjadi kemandegan belajar pada diri seorang guru.
Dalam
konteks itu, pernah dilakukan program penyetaraan bagi para guru sejak
1992/1993 untuk guru SD, dan 1997 untuk guru SLTP dan SLTA (Jalal dan
Supriadi, 2001:263). Di samping itu, diselengarakan juga penataran untuk
kemampuan tertentu. Begitupun pembentukan wadah PKG (Pemantapan Kerja
Guru), MGMP/BS (Musyawarah Guru Mata Pelajaran/Bidang Studi), dan
sejenisnya. Tentu saja, program-program tersebut melibatkan juga guru
(bahasa) dan sastra baik bahasa Indonesia, daerah, maupun asing.
Problematika
yang muncul adalah koordinasi antarprogram, dan mutu yang belum teruji,
serta dampak terhadap kinerja guru yang belum terpantau. Program yang
dinilai menghamburkan uang negara itu, ternyata belum sepenuhnya
berhasil. Mengapa demikian? Tidak sedikit guru yang telah mengikuti
program penyetaraan atau penataran “balik kucing” ke kinerja semula.
Begitu menurut Sakdiyah (2004:4). Jadi upaya profesionalisasi untuk
peningkatan kompetensi guru belum berdampak pada performansi,
atau program profesionalisasi tersebut dinilai belum sepenuhnya efektif
(Jalal dan Supriadi, 2001:264). Ditengarai, hal itu berkaitan dengan
motivasi guru, yaitu rendahnya motivasi guru untuk menerapkan
pengetahuan ataupun keterampilan yang diperolehnya dari penyetaraan
ataupun penataran.
Lagi
pula, program-program itu belum menyentuh semua guru sastra. Belum
semua guru bahasa dan sastra mendapat kesempatan meningkatkan
profesionalitasnya lewat program tersebut. Jangankan yang dikelola oleh
Depag, misalnya. Yang dikelola Depdiknaspun belum semuanya tertangani
oleh program ini.
Kalaupun
ada upaya penerapan oleh para guru, penerapan itu tidak berjalan sesuai
dengan seharusnya. Apa yang diterima dari penyetaraan atau penataran
diterapkan begitu saja tanpa penyesuaian dengan kondisi sekolah, siswa,
dan lain-lainnya. Yang dihasilkan dan diperoleh dari MGMP/BS begitu
juga, diterapkan tanpa kreativitas menyesuikan kondisi real yang
dihadapi. Pembelajaran sastra jalan di tempat, tidak beranjak dari
problematika yang mengungkungnya.
4. Solusi: Sekadar Alternatif
Oleh
sebab pembelajaran sastra khususnya, dan pembelajaran bahasa umumnya
tidak dapat dilepaskan dari kebijakan pendidikan secara makro, solusi
atas problematika tersebut juga terkait dengan kebijakan pendidikan pada
skala makro. Solusi inipun diajukan sebagai alternasi inovasi ke depan,
kecuali jika dikehendaki sebagai pembenahan yang sudah atau sedang
terjadi.
LPTK
-sebagai lembaga yang berwewenang dan bertanggung jawab atas pendidikan
prajabatan calon guru sastra- perlu ditata ulang. Dari segi kuantitas,
perlu dibatasi jumlah LPTK yang diberi wewenang untuk penyelenggraan
pendidikan prajabatan calon guru. Itu perlu dilakukan di samping
mengantisipasi membludaknya lulusan yang akhirnya tidak seimbang dengan
lapangan kerja yang tersedia, akan tetapi lebih-lebih dimaksudkan untuk
peningkatan kualitas lulusan. Hanya LPTK yang dari segi pengalaman,
ketenagaan, serta kelengkapan sarana dan
prasarana saja yang diijinkan menyelenggarakan pendidikan prajabatan
bagi calon guru. Oleh karena itu, LPTK yang dianggap tidak memenuhi
kriteria tersebut harus ditutup atau merger dengan LPTK lain. Khususnya,
ketersediaan tenaga edukatif yang memang kompeten dan profesional di bidang sastra, dan pengajarannya harus menjadi pertimbangan utama.
Restrukturisasi
LPTK harus merambah juga pada kurikulum. Artinya perlu ada
penataulangan isi kurikulum LPTK pada jurusan/program pendidikan bahasa
dan sastra, sehingga terjadi perimbangan jumlah sks untuk pengembangan
kompetensi profesional guru sastra, pembekalan pengetahuan dan
keterampilan sastra, serta keterampilan kependidikan sastra. Untuk itu,
misalnya, beberapa matakuliah MKU/MPB perlu dianulasi, dan mata kuliah
seperti perancangan kegiatan pembelajaran sastra, pengembangan isi
pembelajaran sastra, teknik-teknik pengelolaan kelas, pengenalan beragam
pendekatan dan metode pembelajaran sastra perlu ditambahi. Begitupun
penambahan sks untuk matakuliah kesastraan seperti apresiasi sastra,
sanggar sastra, teori sastra, kritik sastra, ataupun sejarah sastra.
Dengan demikian akan tampak perbedaan orientasi dan spesifikasi
jurusan/program pendidikan bahasa dan sastra dengan jurusan/program
sastra (nonkependidikan). Tidak menutup kemungkinan, sesuai dengan
tuntutan kurikulum baru (2004), dikonsentrasikan lagi ke pendidikan
bahasa yang menyiapkan guru bahasa, dan pendidikan sastra yang
menyiapkan guru sastra.
Selanjutnya,
sesuai dengan orientasi dan spesifikasi tersebut, mata kuliah tugas
akhir (skripsi atau proyek), juga tetap di bidang sastra dan atau
pembelajaran sastra. Tidak mungkinkah mahasiswa memilih tugas akhir
berupa peciptaan karya sastra? Pintu untuk itu harus dibuka sebagai
bagian dari restrukturisasi LPTK di bidang kurikulum. Dengan demikian
tugas akhir dapat berupa penulisan novel, kumpulan cerpen, antologi
puisi, ataupun pementasan drama, dan segala bentuk apresiasi ekspresif
ataupun reseptif sastra. Hal itu sejalan dengan penggagasan Putu Wijaya
(2002:7) bahwa sastra merupakan telaah, skripsi, tesis, bahkan disertasi
dari pengarangnya terhadap tema yang ditekuninya, karena sastra adalah
produk pemikiran pengarangnya.
Terkait
dengan orientasi kurikulum tersebut tentu saja penciptaan atmosfir
kesastraan di LPTK tidak boleh dilupakan. Ketersediaan buku-buku sastra
dalam beragam genre dari beragam periode, ketersediaan ruang pementasan
baik teater terbuka ataupun teater tertutup, keberagaman aktivitas
sastra yang melembaga (kelompok kreatif, penlok drama/penulisan
kreatif), merupakan bagian integral majemen jurusan pendidikan bahasa
dan sastra. Tentu saja tidak boleh ketinggalan, di atas semua itu adalah
kualitas dan profesionalitas dosen-dosen sastra.
Sementara
belum terjadi perbaikan penghargaan pemerintah (masyarakat) terhadap
profesi guru sebagaimana tercermin dalam sistem penggajian, pola seleksi
calon mahasiswa LPTK perlu juga mengindentifikasi motivasi,
potensi/bakat, kepribadian, penampilan calon mahasiswa yang akan dididik
menjadi guru (bahasa) dan sastra. Seleksi bukan sekadar mendasarkan
pada tes yang menguji kemampuan akademik/intelektual sebagaimana selama
ini terjadi dalam UMPTN. Secara demikian diharapkan akan tersaring calon
mahasiswa yang benar-benar berminat menjadi guru, dan akan tersingkir
mereka yang terpaksa berkuliah di jurusan/program pendidikan bahasa dan
sastra karena berbagai sebab.
Sesuai dengan yang digariskan dalam Kurikulum 2004
yang meruanglingkupkan mata pelajaran bahasa dan sastra dalam kemampuan
berbahasa dan kemampuan bersastra, tampaknya pemisahan pengampuan isi
pembelajaran bahasa dan sastra oleh guru yang berbeda perlu
dipertimbangkan urgensinya. Jadi, sebagaimana tatkala Rentjana Pengadjaran 1968
yang memunculkan adanya guru kesusastraan, ke depan perlu dipikirkan
dan direalisasikan adanya guru sastra yang tidak terbebani mengajarkan
kemampuan berbahasa, dan demikian juga sebaliknya adanya guru bahasa
yang tidak terbebani mengajarkan kemampuan bersastra. Dengan catatan hal
itu tidak dapat diartikan sebagai eksklusivitas, sehingga terpisah sama
sekali dan tidak pernah lagi berintegrasi. Jangankan antara bahasa dan
sastra, dengan mata pelajaran lainpun integrasi itu tidak boleh
diabaikan. Pada gilirannya, solusi ini akan mengarahkan seorang guru
sastra memenuhi kompetensi sebagai penikmat, pembuat, dan pengamat
sastra.
Agar
segala upaya profesionalisasi guru sastra mencapai efektivitas yang
diharapkan, beberapa hal perlu dipertimbangkan operasionalisasinya.
Program penyetaraan, penataran dan sejenisnya perlu ditindaklanjuti
dengan pemantauan aplikasinya. Hasil pemantuan digunakan sebagai
penilaian atau pembinaan karir guru. Guru yang didapati mandeg belajar,
enggan melakukan pembaharuan walaupun telah mengikuti program
profesionalisasi dapat dipensiundinikan. Sebaliknya, guru yang
menunjukkan perubahan inovatif, kreatif perlu dipromosikan karirnya.
Secara demikian diharapkan akan terjadi kompetisi inovasi antarguru.
Sebagai
kajian akademis, bahasan ini memang sengaja menitikberatkan pada
kondisi ideal. Oleh kerena itu, guru sastra yang dipersyaratkan sebagai
penikmat, pembuat, dan pengamat sastra merupakan awal pengatasan
problematika pembelajaran sastra. Di tangan guru yang kompeten tersebut,
dapat diletakkan harapan pengatasan keterbatasan sarana dan prasarana,
ketidakberminatan siswa, keterbatasan kurikulum dan sebagainya.
Jika
kompetensi tersebut dihadapkan pada realitas yang konon terlalu
memprihatinkan, solusi pendidikan jabatan dal;am rangka profesionalisasi
yang diajukan pada bahasan ini merupakan jawabannya. Artinya,
kompetensi guru SD, SLTP, SMA maupun MI, MTs, MA yang masih terlalu
rendah dengan kompetensi ideal yang disajikan dalam bahasan ini dapat
diatasi dengan pelatihan jabatan, atau bahkan pemensiunan tenaga guru
yang tidak memenuhi kualifikasi tersebut.
Selanjutnya,
konsep yang diajukan menawarkan pembelajaran sastra yang apresiatif,
yaitu pembelajaran yang menekankan pada penikmatan (reseptif), dan
penciptaan (ekspresif); dan meninggalkan pembelajaran sastra yang
kognitif semata, yaitu menekankan pada pengetahuan dan hafalan. Mengapa?
Dalam pembelajaran sastra yang mengajarkan periodisasi sastra,
menekankan pengetahuan dan hafalan itulah sesungguhnya beragam keluhan
ketidakpuasan pengajaran sastra muncul.
Dalam
hubungannya dengan tuntutan ujian nasional yang lebih menekankan
pengetahuan dan hafalan, beberapa hal perlu dikemukakan. Pertama,
diyakini bahwa pembelajar yang memiliki sikap apresiatif dengan
sendirinya akan memiliki pengetahuan kesastraan juga. Oleh karena itu,
pembelajaran sastra tidak perlu secara eksklusif menekankan pada
pemberian pengetahuan dan hafalan. Sekali lagi, dengan sendirinya hal
itu akan dicapai juga. Dengan demikian, tidaklah perlu dicemaskan bahwa
siswa tidak mampu menghadapi ujian nasional yang lebih menekankan
pengetahuan dan hafalan. Kedua, sistem evaluasi (pembelajaran sastra)
perlu diubah, disesuaikan karena sistem evaluasi ini juga masuk dalam
lingkaran setan problematika pembelajaran sastra.
Penutupan
Jika
dicermati, tampaknya keluhan atas ketidakpuasaan pembelajaran sastra
(dan bahasa) senantiasa terjadi dari waktu ke waktu. Walaupun
pembaharuan kurikulum sudah dilakukan berkali-kali: Rentjana Pengadjaran Bahasa Indonesia 1962 (disempurnakan 1968), Kurikulum 1975 (direvisi 1979), Kurikulum 1984 (direvisi 1987), Kurikulum 1994 (direvisi 1998), Kurikulum 2004,
sampai saat inipun masih juga terdengar keluhan itu, bahkan barangkali
lebih nyaring. Jika demikian, akar permasalahannya bukan terletak pada
kurikulum semata, melainkan pada banyak aspek lain, satu di antaranya
aspek guru. Bahkan dalam hubungannya dengan pelaksanaan kurikulum, guru
menjadi ujung tombaknya. Oleh karena itu, mana kala guru sendiri belum
stiril dengan problematika, problematika pembelajaran sastra belum juga
berakhir.
Jika
dicermati lagi, problematika guru sastra yang menyangkut pendidikan
prajabatan, kompetensi, dan profesionalisasi tidak dapat dipisahkan dari
kebijakan pendidikan secara makro, bahkan kebijakan nasional lainnya
seperti kebijakan ekonomi. Oleh karena itu, solusi atas problematika
pembelajaran sastra (dan bahasa) bergantung juga pada kebijakan
pendidikan khususnya, dan kebijakan nasional umumnya. Setidak-tidaknya
diperlukan sinergi dari berbagai bidang yang terkait. Pengatasan
problematika pembelajaran sastra tidak dapat berlari sendiri.
Daftar Acuan
Beach, Richards W. dan Marshall, james D. 1990. Teaching Literature in the Secondary School. San Diego: harcourt Brace Jovanovich Publisher.
Burhan, Jazir. 1971. Problema Bahasa dan Pengajaran Bahasa Indonesia. Bandung: Penerbit Ganavo NV.
Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Kurikulum 2004: Standar Kompetensi Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Sekolah Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah. Jakarta: Depdiknas.
Gunharjo Ls, C. 2002. “Menggugat Pengajaran Sastra di Perguruan Tinggi”. dalam Cybersastra. http://www.cybersastra.net/.
Jalal, Fasli dan Supriadi, Dedi. (ed.). 2001. Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta: Adi Cita.
Oemarjati, Boen S. 1991a. “Pengajaran Apresiasi Sastra di Sekolah Lanjutan Atas: Keakraban Guru-Murid dengan Karya Sastra” dalam Bulir-bulir Sastra dan Bahasa: Pembaharuan Pengajaran. Bambang Kaswanti Purwo (ed.). Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Oemarjati, Boen S. 1991b. “Pembinaan Apresiasi Sastra dalam Proses Belajar-Mengajar”Bulir-bulir Sastra dan Bahasa: Pembaharuan Pengajaran. Bambang Kaswanti Purwo (ed.). Yogyakarta: Penerbit Kanisius dalam
Oemarjati, Boen S. 1992. “Dengan Sastra Mencerdaskan Siswa: Memperkaya Pengalaman dan Pengetahuan” dalam Berbagai Pendekatan dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra. Muljanto Sumardi (ed.). Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Rusyana, Yus. 1984. Bahasa dan Sastra dal;am Gamitan Pendidikan. Bandung: penerbit CV Diponegoro.
Sakdiyah, Mislinatul. 2004. “Saya, Sosok Guru BI yang Takut Disebut Sebagai Guru Sastra?” dalam Cybersastra. http://www.cybersastra.net/.
Tuloli, Nani. 1992. “Usaha Meningkatkan Proses Belajar-Mengajar Sastra Indonesia” dalam Kongres Bahasa Indonesia IV. A. Murad (ed.). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Wijaya, Putu. 2002. “Sastra sebagai Refleksi Kemanusiaan” dalam Forum Bahasa & Sastra.http://www.bahasa-sastra.web.id/.
Yohanes, Budinuryanta. 1988. “Ilmu Sastra Bandingan dan Guru Bahasa dan Sastra Indonesia”Bunga Rampai Bahasa, Sastra, dan Pengajaranya. B. Rahmanto (ed.). Yogyakarta: IKIP Sanata Dharma. dalam
Yohanes, Budinuryanta. 1992. “Mencari Sosok Guru Sastra”. dalam Seminar Sastra. Surabaya: Panitia Safari Sastra JPBSI, FBS IKIP Surabaya.