BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Teori sastra dan sejarah sastra dalam kajian ini lebih mendekatkan pada
pendekatan sejarah sastra yang tradisional, prinsip dasar sejarah sastra
beberapa faktor yang relevan untuk sejarah sastra, penulisan sejarah sastra,
dan sejarah sastra Indonesia.
Sastra, khususnya sastra Indonesia,
sering diidentikan dengan seni dalam tulis menulis oleh masyarakat awam.Hal ini
tidak sepenuhnya salah, karena sebuah karya sastra yang dapat banyak aspek yang
mendukung sebuah kesenian. Berbicara tentang seni, tidak dapat dilepaskan dari
estetika. Seni memang tidak dapat dipisahkan dari sebuah keindahan walau sebuah
seni itu belum tentu indah, namun setiap karya itu sedikit hanya memiliki
estetika dimata sebagian orang. Keindahan ada dimana-mana. Disetiap pandangan
alam terdapat keindahan. Bahkan setiap benda sedikit banyak menyiratkan
keindahan, walupun sedikit keindahan dapat ditangkap oleh setiap indera
manusia. Dengan indera itulah, manusia menikmati setiap keindahan yang ada.
Khususnya karya sastra, manusia dapat merasakan keindahan dari tulisan-tulisan
yang mencerminkan pemikiran dari sang penulis.
2. Rumusan
Masalah
Penulis merumuskan masalah makalah ini adalah untuk mengetahui penjelasan
lebih lanjut tentang:
- pendekatan sejarah sastra yang tradisional
- Prinsip dasar sejarah sastra
- Beberapa faktor yang relevan untuk sejarah sastra
- Penulisan sejarah sastra
- Sejarah sastra Indonesia.
- Ilmu sastra dan estetika
3. Tujuan
- Penulisan ini dapat memberikan masukan tentang teori sastra dan sejarah sastra
- Dapat dijadikan acuan dalam melaksanakan proses belajar dan pembelajaran
BAB II
PEMBAHASAN
A. Teori Sastra dan Sejarah Sastra
1. Pendekatan
Sejarah Sastra yang Tradisional
Pada abad ke-19 ilmu sastra terutama terarah pada penelitian sejarah
sastra. Tetapi ini tidak berarti bahwa ilmu sastra yang bersifat kesejahteraan
itu hanya seragam dan semacam. Empat pendekatan yang utama, masing-masing
dengan variannya:
a. Karya sastra
dan penulisnya ditempatkan dalam rangka yang disediakan oleh ilmu sejarah umum.
Satu varian pendekatan ini yang cukup menonjol mempergunakan kerangka universal
sejarah kebudayaan (universal berarti Eropa), sehingga sastra dibagi-bagi dalam
periode menurut gambaran sejarah kebudayaan Barat misalnya dengan membedakan
sastra Barok, Rasionalisme, Romantik. Pendekatan ini melampaui batas bahasa dan
bangsa individual. Pada abad ke-19 sejarah makin bersifat sejarah nasional,
dalam varian sejarah sastra yang bersifat nasional diambil kerangka sejarah kebudayaan
umum, dalam wujud nasional khas, kerangka sejarah politik nasional.
b. Pendekatan
yang mengambil kerangka karya atau tokoh agung, atau gabungan dua kriteria ini.
Contohnya dalam buku Kalangwan tulisan
Profesor Zoetmulder (1974) yang berjudul The
Rãmãyana; Arjunawiwaha, gubahan Mpu Kanwa; Mpu Sedah dan Mpu Panuluh.
Pedekatan ini mudah dan praktis, juga untuk tujuan pengajaran, tetapi belum
dapat disebut sejarah sastra yang sesuai dengan sifat khusus objek
penelitiannya.
c. Pedekatan
lain yang pada abad ke-19 sangat populer dan membawa hasil yang gilang-gemilang
adalah dalam bahasa Jerman Stoffgeschichte
yaitu penelitian sejarah bahan-bahan dengan penelusuran sumber-sumber.
Pendekatan sejarah sastra ini memusatkan perhatian pada motif atau tema yang
tedapat dalam karya sepanjang zaman. Pokok dalam penelitian sejarah sastra
yaitu ditelusuri asal-usul dan perkembangan serta pemanfaatan anasir tertentu.
Empat pendekatan utama terhadap ilmu sastra bandingan, tentang pemerincian
kemungkinan penelitian menurut pendapat ini:
a. Relations:
analogies and influences.
b. Movements
and trends (gerakan dan aliran).
c. Genres
and forms (jenis dan wujud sastra yang khas).
d. Motives,
types, themes.
d. Pendekatan
keempat yang khas, yang lebih memperhatikan asal-usul karya sastra yaitu
sejarah sastra yang mengambil sebagai kriteria utama untuk penahapan sejarah
pengaruh asing yang berturut-turut dapat ditelusuri pada perkembangan sastra
tertentu. Dibidang sastra se-Indonesia belum ada sebuah buku yang sungguh
bersifat sejarah sastra, demikian pula belum ada penulisan sejarah tentang
sastra Indonesia modern yang sungguh ilmiah dam memuaskan dari segi teori
sastra.
2.
Prinsip Dasar Sejarah Sastra
Teori sastra pertama-tama dan terutama harus meneliti kompetensi sastra,yaitu
keseluruhan konvensi yang memungkinkan pembacaan dan pemahaman karya sastra.
Analogi dengan ilmu bahasa: strukturalisme mengemukakan dan membuktikan
benarnya pendapat bahwa bahasa adalah sistem semiotik; di dalamnya anasir-anasir
dan bagian-bagiannya berkaitan satu sama lain, sehingga anasir masing-masing
ditentukan nilai maknanya oleh oposisi dengan anasir lain. Secara ideal sejarah
bahasa adalah sejarah sistem itu seluruhnya. Setiap perubahan dalam anasir atau
bagian sistem itu ada akibatnya untuk anasir lain dan untuk keseluruhannya.
Bagian sistem sastra yang dari segi teori sastra paling wajar dan paling masuk
akal penggarapannya pastilah sejarah sistem jenis sastra
3. Beberapa Faktor yang Relevan untuk Sejarah Sastra
a. Dinamika Sistem Sastra
Pendekatan terhadap masalah sejarah sastra yang paling sesuai dengan
sifatkarya sastra yang paling sesuai dengan sifat karya sastra sebagai gejal
semiotik haruslah mengambil titik tolak dari penelitian jenis sastra. Fakta dan
pertimbangannya yaitu konsep jenis sastra yang modern bersifat dinamis, tidak
statis. Hal itu di sebabkan oleh pandangan bahwa karya sastra selalu berada
dalam tegangan antara konvensi dan kreasi. Karya sastra tidak hanya
melaksanakan konvensi jenis sastra, melainkan sering melampaui, bahkan
merombaknya. Norma dan konvensi jenis sastra tetap berubah, dan itulah yang
termasuk hakikat sejarah sastra. Hal itu tidak hanya benar untuk sastra Barat
modern tetapi dalam sastra tradisional pun norma dan konvensi jenis sastra
sering berubah.
b. Pengaruh Timbal Balik antar Jenis
Sastra
Dalam dinamika sistem sastra seluruhnya kaitan dan oposisi diantara
jenis-jenis sastra merupakan faktor yang hakiki. Fungsi jenis sastra tertentu
tidak hanya ditentukan oleh ciri-ciri intrinsiknya tetapi pula oleh kaitannya
atau pertentangan jenis lain. Dalam sejarah sastra sering dilihat transformasi
teks tertentu dari satu jenis ke jenis yang lain: parwa Jawa Kuno dipindahkan
ke dalam bentuk kakawin, seperti yang masih dapat ditelusuri dalam beberapa hal
(Supomo, 1977). Sejarah sastra pada prinsipnya harus berpusat pada sejarah
jenis sastra namun jenis sastra dan perkembangannya tidak boleh ditelusuri
dalam isolasi.
c. Intertekstualitas Karya
Individual dan Sejarah Sastra
Kaitan antara jenis sastra dan karya individual memperhadapkan
penelitidengan berbagai masalah yang memperumit sejarah sastra. Hal itu
diakibatkanoleh hubungan yang ambigu antara karya individual dan norma-norma
jenis sastra. Dinamika perubahan sistem sastra ditentukan oleh dan terjelma
dalam karya-karya individual dalam hubungan antar teksnya.
d. Sejarah Sastra dan Sejarah
Umum
Hasil penelitian dan perkembangan teori sastra Jausz
dan Mukarovsky-Vodicka yaitu sejarah sastra ditulis dalam isolasi terhadap sejarah
umum. Tetapi tidak boleh pula sejarah sastra diabdikan pada sejarah umum:
hubungan antara perkembangan sejarah sastra dan perkembangan masyarakat adalah
hubungan timbal balik, baik sastra itu bersifat alternatif, restoratif, maupun
negatif terhadap perkembangan kemasyarakatan tertentu.
e. Penelitian
Resepsi Sastra dan Sejarah Sastra
Resepsi karya sastra itu sendiri yaitu tidak hanya oleh para pembaca yang
sezaman dengan penulis, tetapi juga resepsi oleh angkatan pembaca yang
berturut-turut sesudah masa penciptanya. Dinamika perkembangan sastra justru
terungkap lewat pergeseran nilai sastra, termasuk perubahan dalam lingkungan
pembaca yang menikmati karya sastra tertentu. Penelitian resepsi itu
menyediakan berbagai kesulitan metodis dan teknis.
f. Sastra Lisan dan Sejarah
Sastra
Peranan sastra lisan dan sejarah sastra, sastra yang seluruhnya terdiri
atas sastra oral sejarahnya sukar ditulis kalau tidak secara kebetulan
terselamatkan bentuk lama yang tercatat oleh peneliti-peneliti atau pencinta
sastra pada masa lampau. Sastra lisan pun sering mempunyai dinamika intrinsik
yang kuat sekali ataupun berubah akibat pengaruh sastra asing (tulis atau
lisan). Sastra lisan dalam berbagai
bentuk dan dengan berbagai cara terus-menerus mempengaruhi perkembangan
sastra tulis.
g. Sejarah Sastra Indonesia dan
Sejarah Sastra dalam Bahasa Nusantara
Komplikasi antara sejarah sastra ekabahasa (Jawa, Melayu, Sunda dan lain-lain) terapadu dalam
sintesis yang lebih merangkum dan menyeluruh dan sejarah sastra se-Indonesia
untuk penulisannya seharusnya dilakukan seiring pada dua tataran sekaligus:
tataran ekabahasa dan tataran se-Indonesia. Pentingnya bahasa sebagai sarana
pengikat dan pembatas sastra sukar disangkal, sistem sastra dalam suatu bahasa
tertentu adalah sistem terbuka yang antara lain dipengaruhi oleh sastra dalam
bahasa lain.
Sastra se-Indonesia situasinya
lebih kompleks lagi. Pada satu pihak sejak dahulu ada pengaruh timbal balik di
antara bahasa-bahasa Indonesia tertentu. Sastra tulis Indonesia sangat
dipengaruhi oleh sastera luar Indonesia khususnya dalam bahasa Sansekerta, Arab
dan Parsi. Sejarah sastra di Indonesia tidak mungkin ditulis bahasa demi
bahasa, tanpa memperhitungkan sastra dalam bahasa lain, baik dari segi ilmiah
maupun dari segi pendidikan nasional penting sekali penciptaan suatu sejarah
sastra se-Indonesia.
4. Beberapa
Saran dan Contoh tentang Penulisan Sejarah Sastra: Metode Penampang
Sinkronik: Jausz dan Tahun 1857 dalam
Lirik Prancis
Pertama-tama dijelaskan atas dasar analisis permasalahan sejarah sastra
bahwa tidak ada satu pendekatan saja yang dapat dipakai untuk menulis sejarah.
Satu pendekatan yang dari segi teknik penelitian memberikan harapan akan hasil
yang memuaskan dalam situasi sejarah sastra indonesia adalah metode yang diajukan
oleh Jausz dengan penulisan sejarah sastra lewat sejumlah penampang sinkronik
yang kemudian disambung satu dengan yang lain. Contoh sebuah karangan yang
terkenal (Jausz; 1977a: 343-376; juga pada Warning, 1975; 401-434) Jausz
melaporkan mengenai sejarah sastra di Perancis pada tahun 1857 , suatu Ouerschnittsanalyse. Mengenai hubungan
antara sejarah sastra dann sejarah umum Jausz berusaha mengaitkan situasi
sastra dengan situasi kemasyarakatan Perancis.
5. Kemungkinan
Penerapan Metode Penampang Sinkronik di Indonesia
Metode penampang sinkronik
pasti dapat diterapkan dengan hasil yang baik; misalnya untuk sastra Indonesia
modern dapat dilangsungkan penelitian tentang sastra yang pada satu saat
tertentu atau selama periode singkat diciptakan. Hubungan intrinsik diantara
karya-karya itu (dari segi nilai dan norma) dapat ditelusuri, berdasarkan analisis intrinsik serta data ekstrinsik
seandainya ada(kritik sastra, uraian teori sastra dan lain-lain). Tetapi kaitan
antara sastra dan keadaan kemasyarakatan oleh penampangan sinkronik dapat
diteliti atas dasar studi sosiologi,sejarah,ilmu polotik dan lain-lain mengenal
sama yang sama.
6. Pendekatan
Berdasarkan Jenis Sastra
Pendekatan lewat sejarah sastra contohnya sejarah jenis sastra Jawa Kuno
kakawin. Peneliti khususnya Zoetmulder yang dalam buku Kalangwan (1974) menyimpulkan pengetahuan kita tentang sastra jenis
ini.Juga berkat Zoetmulder yang menyusun kamus Jawa Kuno yang cukup lengkap
(1982) kita diberi kemungkinan untuk meneliti teks-teks Jawa Kuno dari segi
stratigrafi bahasa dan intertekstualitas. Sehingga di masa depan para peneliti
berangsur-angsur menciptakan secara intrinsik jenis sastra kakawin. Dalam hal
sastra Melayu kemungkinan yang sama untuk jenis sastra yang disebut syair.
7. Sejarah
Sastra se-Indonesia
Dalam tulisan yang diterbitkan pada tahun 1976 pernah dibicarakan teks-teks
dalam bahasa–bahasa Indonesia yang disebut historis atau genealogis: babad,
sejarah. Dalam tulisan itu diajukan penting dan perlunya teks tersebut diteliti
sebagai teks kesastraan, dengan metode dan pendekatan yang sesuai dengan sifat
utamanya, sebab teks semacam ini (contoh yang terkenal: Sejarah Melayu, Babad Tanah Lawi) teks ini tidak boleh dipandang
sebagai dokumen sejarah dalam arti ilmu sejarah modern.
Karakteristik teks ini hanya tepat untuk sejumlah teks lain dalam
lingkungan sastra Jawa-Bali. Teks yang dari segi struktur literernya sangat
mirip terdapat dalam sastra Melayu, dengan judul sejarah atau hikayat (Hikayat
Banjar, Hikayat Patani, Hikayat Raja-Raja Pasai). Dalam sastra Sunda
bandingkan studi Edi Suhardi Ejkadjati (1982, disertasi 1979) dan Herman
Soemantri (1979), Bugis (Noorduyn, 1955), Aceh dan lain-lain.
Penelitian sastra lisan dalam rangka se-Indonesia banyak memberikan
kemungkinan yng sangat mempesona. Berbagai sastra lisan yang masih berfungsi
dalam berbagai masyarakat di Indonesia, yang kemudian dapat dibandingkan dan
dipadukan dalam interpretasi menyeluruh.
B. SASTRA SEBAGAI SENI MASALAH ESTETIKA
1. Ilmu Sastra dan Estika
Dalam praktek penelitian sastra biasanya hubungan dengan ilmu bahasa lebih
ditekankan daripada kaitan dengan ilmu seni, sedangkan estetika itu sendiri pun
lebih mencurahkan perhatian pada seni-seni lain (khususnya seni lukis, seni
patung, seni ukir, seni tari, seni musik, seni bangunan dan lain-lain) daripada
seni bahasa. Alasan untuk mendahulukan seni-seni bukan bahasa mudah dipahami
justru seni bahasa menimbulkan masalah yang khas karena bahasa sebagai sarana
seni bagi seniman pada prinsipnya berbeda dengan cat, batu, perunggu, gerak-gerik,
not-not yang merupakan sarana untuk seni lain. Bahasa sendiri, sebelum dipakai
oleh seniman sudah membentuk sistem tanda dengan sistem makna yang mau tak mau
mendasari ciptaan sastrawan. Demikian pula peneliti sastra mau tak mau
dihadapkan pada masalah kebahasaan sebagai dasar penelitian karya atau sistem
sastra. Itulah yang dimaksudkan oleh Lotman dengan bahasa sebagai sistem primer
yang membentuk model, sebagai dasar untuk sastra sebagai sistem sekunder yang
membentuk model pula.Keadaan ini sangat berbeda dengan situasi seorang palukis
yang bahan-bahannya (warna : merah, hitam, biru, dan lain-lain) tidak merupakan
sistem makna yang di berikan secara apriori, tidak merupakan sistem semiotik
yang sebagian besar mengarahkan seniman dan menentukan kemungkinannya.
2. Sedikit
Sejarah Estetika Sastra Barat
Estetika di dunia barat sama tuanya dengan filsafat.
Khususnya dalam filsafat Plato masalah estetik memainkan peranan yang sangat
penting. Keindahan yang mutlak menurut Plato hanya terdapat pada tingkat dunia
ide dan dunia ide yang mengatasai kenyataan itulah dunia ilahi yang tidak
langsung terjangkau oleh manusia, tetapi yang paling banter dapat didekati
lewat pemikiran. Para filsufah yang pertama-tama dapat mendekati dunia ide
dengan harmoni yang ideal. Seperti yang telah dipaparkan dalam bab mengenai
kenyataan (Bab VIII) seniman tidak langsung dapat menjangkau dunia yang
tertinggi itu. Dia terikat pada dunia nyata, dari segi itu seni “is a thing of
the most inferior value, a shadow” (suatu yang sangat rendah nilainya,
bayangan), mimesis dalam arti peniruan. Tetapi plato insaf pula bahwa secaratak
langsung seni berhubungan dengan hakikat benda-benda:
“True art ... strives to transcend the material world;
in its poor images it tries to evocate something of that higher realm of being
which also glimmers through phenomenal reality ... in true art likeness does
not refer to common place reality, but ideal beauty”.
(Seni sejati berusaha mengatasi dunia kenyataan dalam
bayang-bayang yang hina diusahakannya menyarankan seuatu dari dunia yang lebih
tinggi, yang juga terbayang dalam kenyataan fenomena ... dalam seni sejati
kemiripan tidak menyatu pada kenyataan sehari-hari melainkan pada keindahan
ideal, Verdenius, 1949:18-19).
3. Estetika
Terlepas dari Norma Agama dan Etika
Pada awal abad ke-14 pandangan dunia dan anggapan
estetika tetap sama yaitu memangsecara sadar mengalami dan menikmati keindahan
alam sebagai sesuatu yang baru bagi dia pribadi tetapi diapun masih terikat
kepada alam sebagai ciptaan Tuhan, dan penikmatan yang secara sadar dialaminya
bagi dia tidak menjadi kemampuan yang menyanggupkannya untuk selaku seniman
merebut dunia menjadi perolehan individual. Situasi ini baru tercapai pada abad
ke-18 oleh Rosseau yang menikmati keindahan semesta demi keindahannya , tanpa
latar belakang Tuhan sebagai teladan. Rosseau merupakan seniman yang otonom
yang dalam karya seninya merebut dan menafsirkan dunia dan alam sebagai ciptaan
dia sendiri. Pandangan berbeda berasal dari Charles Baudelaire yang menerbitkan
kumpulan puisi dengan judul yang profokatif: “Les fleurs du mal” bunga seni
(keindahan) yang tumbuh dari yang jahat atau yang buruk. Alam dan dunia dalam
visi Baudelaire jahat, tidak baik, malahan musuh manusia, dan penyair bertugas
untuk memerangi keadaanyang buruk itu dan untuk mengatasinya dengan sebagai
satu-satunya senjata.
4. Beberapa
Pendekatan Estetika Indonesia: Melayu dan Jawa Kuno.
Memang dibidang sastra tradisional Indonesia teori
estetika yang eksplisit tidak diketahui. Tetapi ada konsepsi estetika yang
implisit terkandung dalam sastra Melayu Klasik dan puisi Jawa Kuno. Teori ini
belakangan digali oleh peneliti karya-karya sastra yang bersangkutan dan yang
kemudian dipaparkan dalam studi yang sangat menarik. Yang satu menyangkut
sastra Melayu Klasik. Merujuk pada sebuah makalah peneliti Rusia yang bernama
V.I. Braginsky. Braginsky secara sistematis menguraikan konsep estetika yang
mendasari sastra Melayu Klasik. Secara singkat dapat dikatakan bahwa Braginsky
membedakan tiga aspek pada konsep keindahan Melayu:
1) Aspek
Ontologis, keindahan puisi sebagai pembayangan kekayaan tuhan Yang Maha
Pencipta; berkat daya cipta-Nya keindahan mutlak dari tuhan (al-jamal = Yang
Maha elok) dikesankan pada keindahan dunia gejala (husn = indah) khususnya
dalam karya seni dan satera.
2) Aspek
Imanen, dari yang indah trungkapkan dalam kata-kata seperti ajaib, gharib,
tamasya dan lain-lain. dan selalu terwujud dalam keanekaragaman, keberbagaian
yang harmonisdan teratur, baik dalam alam maupun dalam ciptaan manusia.
3) Aspek
Psikologis atau Pragmatik, efek pada pembaca yang menjadi heran, birahi, leka, lupayang kehilangan kepribadiannya karena
mabuk, dimabuk warna, keanekaragaman dan lain-lain, yang terungkap daam istilah
Penglipur Lara.
Jelaslah dari tulisan Braginsky pandangan Estetika yang terkandung dalam
sastra Melayu Klasik dekat dengan teori sastra Arab yang ditentukan oleh
kergantungan seniman pada teladan yang agung, yaitu semesta sebagai ciptaan Tuhan,
pencipta Yang Maha Esa.
Konsepsi estetika puisi Jawa Kuno, berasal dari Prfesor Zoetmulder dalam
bab yang berjudul “Religio poetae” puisi bagi sang penyair (kawi namanya)
adalah semacam yoga atau latihan rohani tertentu. Dalam agama hindu jawa Yoga adalah
usaha manusia untuk mencapai kesatuan dengan sang dewa, dan lewat kesatuan
keagamaan itu manusia akhirnya nencapai Moska(kelepasan),
pembebasan akhir dari rantai eksistensi. Bagi orang lain yoga biasanya bersifat
usaha rohani (pengabdian kepada sang dewa lewat tapa, brata, puasa, studi
semadi, sesajen, pembacaan teks agama dan lain-lain). Dalam visi puisi Jawa
Kuno bagi Penyair atau Kawi puisilah yang menjadi sarana untuk mencapai tujuan
terakhir; puisi adalah agamanya, Sang dewa yang ingin ditemukannya menjelma
selaku Dewa Keindahan dan Keindahan (Kalangwan, dalam bahasa jawa Kuno) menjadi
tarekat, jalan untuk mencapai tujuan teersebut.
5. Tagangan
Sebagai dasa penilaian estetika
Seperti yang telah dipaparkan dalam bab VII ide-ide Mukarovsky pada awalnya
terikat pada formalisme Rusia dalam perkembanganna ke arah strukturallisme,
tetapi kemudia pendirian Mukarovsky bergeser lagi lewat konsepsi seni sebagai
fakta semiotik yang telah diungkapkannya pada tahun 1934 dan penekanannya pada
fungsi estetik sebagai sesuatu yang dinamis, yang tidak sama, Mukarovsky
mencapai kesimpulan bahwa fungsi estetik adalah “The mode of a subject’s
self-realization vis-a-vis the external world” (cara subjek melaksanakan diri
terhadap dunia lahir) fungsi estetik bukanlah pertama – pertama atau semata –
semata kualitas karya seni secara objektif melainkan bergantung pada aktivitas
penikmat. Justru itulah perbedaan antara unsur bahasa sebagai tanda dan karya
sastra sebagai tanda unsur bahasa mempunyai makna yang tetap, terletak pada
tanda itu seendiri. Tetapi dalam karya seni sebagai fakta semiotik “It is not
the Result which is important but the process it self” (bukanlah hal yang
penting dalam seni, melainkan proses penemuan makna itu sendiri, Stainer dalam
Mukarovsky, 1978; XXXII). “Aesthetic value foregrounds the act of evaluation”
(nilai estetik melatardepankan tindak evaluasi) menurut pandangan ini kenyataan
yang bukan semiotik ditranformasikan oleh pembaca menjadi arti estetik. “the
estetic function foregrounds the subject” (fungsi semiotik melatardepankan
subjek).
Dalam visi estetika Jan Mukarovsky nilai estetik adalah sesuatu yang lahir
dari tegangan antara pembaca dan karya bergantung pada aktivitas pembaca selaku
pemberi arti karna itu nilai estetika adalah proses yang terus-menerus, bukan
perolehan yang tetap, sekali diperoleh tetap dimiliki. Visi inilah yang dapat
menjelaskan mengapa sebuah karya seni terus-menerus dapat memikat penikmat,
mengapa sebuah karya sastra yang baik dapat dinikmati kembali walaupun dibaca
untuk kesepuluh kali. Pemberian arti adalah aktivitas yang terus-menerus,
seperti disebutkan oleh ahli semiotik dan teori sastra Michael Riffaterre: “A
kind of semiotic circularity (or a seesawing from one sign value to another) Characterizing
the prectice of sgnification known as poetry” (semacam keingkaran semiotik atau
mundur-maju dari nilai tanda kesatu nilai yang lain, yang merupakan ciri khas
praktek pemberian makna yang disebut puisi; Riffaterre, 1978: 166).
“in the reader’s mind it means a continual recommencingn, an indecisiviness
resolved one moment and lost the next with each reliving of revealed
significane, an this it is that makes the poem endlessly rereadable and
fasionating”.
(hal itu berarti, dalam pikiran pembaca, suatu permulaan yang
terus-menerus, suatu keketakterputusan yang selesai satu detik, muncul lagi
detik berikutnya, setiap kali arti yang terungkap dihidupi kembali, itulah yang
menjadikan sajak tak henti-hentinya terulang baca dan mempesona).
6. Tegangan Pertama Fungsi Puitik Bahasa
Tegangan pertama yang dihadapi oleh pembaca ( demi mudahnya dipakai istilah
pembaca,tetapi sesuai dengan keadaan teks tertentu istilah ini juga melingkupi
pendengar dan pemikat seni lain ) tidak perlu dibicarakan lagi secara panjang
lebar : yakni tegangan yang ditimbulkan oleh pemakaian bahasa itu sendiri dalam
seni sastra. Memang benar bahwa poetic funtion ala jakobson tidak cukup untuk
membatasi seni sastra terhadap bentuk pemakaian bahasa lain ; tetapi ini tidak
berarti bahwa pemakaian bahasa sastra sesuai dengan konvensi yang berlaku pada
masyarakat tertentu tidak menunjukkan ciri khas .Setiap sastrawan,baik dalam
masyarakat tradisional maupun modern, memainkan bahasa, memanfaatkan
kemungkinan dan potensi bahasa,sesuai dengan dengan norma – norma yang terdapat
dalam masyarakat itu,dan biasanya berbeda menurut jenis sastra (puisi prosa
naratif,dan seterusnya).Dalam sastra arti sehari- hari ditingkatkan menjadi
makna semiotik,entah disebut ambigultas,ironi,atau apa pun.Disini jelaskanlah
ada tegangan antara harapan yang harus dipenuhi dan disimpangi
sekaligus.Tegangan itu merupakan bagian yang hakiki dari penikmatan estetik
dalam sastra.Tegangan itu dapat terjadi karena bermacam – macam keistimewaan :
pemakaian kata- kata yang aneh,kolot,asing,kata majemuk yang baru,malahan
paradoksal,kata turunan yang tidak biasa lagi dalam bahasa seharin-hari
(arkaisme) atau justru sama sekali baru (neologisme),belum pernah dipakai
walaupun sesuai dengan potensi sistem bahasa,untaian kata yang aneh,menyimpang
dan seterusnya.
7. Tegangan
yang Inheren pada Struktur Karya Sastra
Tegangan lain yang dapat dikatakan
dalam karya seni adalah tegangan yang inheren pada sesuatu yang merupakan
struktur. Struktur karya sastra bersifat multidimensional, atau berlapis-lapis,
sering kali juga disebut hierarkis.Dalam hubungan ini terkenalah teori Roman
Ingardenyang dikutip oleh Wellek dan Warren dalam bab mengenai ‘the modes of
lxistence of a alam bab sastra norma yaitu bunyi, dunia kata sebagai satuan arti,
dunia karya yang direka dalam karya sastra)tokoh, latar, benda dan
lain-lain);lapis keempat adalah segi pandangan karya yang mungkin
terungkap,mungkin pula terkandung;akirnya lima lapis ialah lapis kualitas
metafisik: yang dahsyat yang suci,yang mulia,dan lain-lain. Entah pembagian
struktur ini universal atau tidak,namun jelaslah setiap karya sastra mempunyai
sejumlah aspek yang saling menopang dan yang sering kali menunjukan interaksi
yang kuat sekali: bunyi(rima,mantra),lapis morfolongi,lapis makna kata,lapis
kesejajaran dalam struktur kalimat dan lain-lain,semuanya ikut serta dalam
membangun dunia arti yang menyeluruh : dalam setiap analisis stuktural yang
baik aspek-aspek itu dalam interaksi dan pegangannya diperjelas. Dan dikupas
secara teliti, tegangan merupakan syarat untuk penikmatan estetik. Pembaca
sebuah karya terus berada dalam situasi tegangan antara semua aspek yang ingin
di bina yang menjadi keseluluhan yang utuh: tanpa tegangan semacam itu
penilaian estetik pasti lebih rendah,berbagai harapan berbaur dan berbentur dan
dari perbauran dan terbenturan itu harus terjadi nilai estetik menyeluruh yang
tinggi.
8. Variasi Karya sebagai Sumber Tenaga
Sebab dalam sejarah sastra
ternyata ada pula tegangan antara bentuk asli dan variasi setiap karya sastra
yang hidup sepanjang beberapa waktu mengalami bermacam-macam perubahan, seperti
yang telah dibicarakan dalam bab tersebutseni sastra oral, variasi malahanmenjadi prinsip. Variasi tidak
kurang merupakan ciri teks
tulisan, sampai dengan teks yang telah dicetak. Perbedaannya hanyalah begini:
pembaca bisa sering kali tidak sadar akan variasi dalam bentuk sebuah teks,
sehingga dia menerima teks yang
kebetulan diperolehnya. Tetapi seorang ahli dapat ilham baru dari perbandingan
variasi teks. Justru variasi
sebuah teks yang “sama”dapat menimbulkan kegairahan yang khas: variasi antara
satu naskah dan naskah lain, ada kalanya cetakan yang satu dan cetakan yang
lain mempunyai fungsi semiotik secara intertekstual: justru variasi yang
terdapat antara cetakan pertama, dimasa kolonial, dari buku Hulubalang Raja
tulisan Nur St. Iskandar dan
cetakan kedua yang diterbitkan sesudah merdeka dan yang disesuaikan oleh
penulis dengan zaman memerdekaan, mempertajam secara signifikan makna kedua edisi buku itu dalam pertentangannya.
9. Tegangan antara Konvensi Sastra dan Karya Individual
Dalam
setiap masyarakat sastramerupakan semacam sistem konvensi yang secara sadar
atau tidak sadar dikenakan, baik oleh
penulis ,atupun oleh
pembaca karya sastra; itulah yang dibicarakan dalam Bab IV; yang dikemukakan
disanah berarti bahwa selalu ada tegangan antara sistem konvensi itu sesuai
dengan kemampuan pembaca individual (sebab kompentensi semua pembaca dalam
salah satu masyarakat pasti tidak sama dalam hal ini ) dan karya individual.
Dalam pemahaman dan penilaian karya sastra pembaca tidak hanya diarahkan dan
dibimbing oleh kemampuannya sebagai pemakai bahasa; bagi pemberian arti tak
kurang pentinglah sistem
konvensi, sistem sastra
itu seluruhnya. Yang penting disini akibat perubahan semacam itu bagi
penikmatan estetik,: pembaca, dan harapan tertentu berdasarkan pengetahuan
tentang sastra lama itu diputar balikan; tegangan antara yang lama dan yang
baru dialaminya, dan harus dicernahkan secara estetik. Ada pembaca yang tidak mampumengikuti secara kreatif revolusi yang dihadapinya; bagi mereka kompetensi lama terlalu kuat
dan normatif, mengikat
atau memuaskan, sehingga penilaiannya terhadap yang baru negatif saja; yang
baru dianggap tidak baik, tidak indah,aneh,gila atau apa pun sebutannya.
Hubungan intertekstual sebuah karya tidak disadari atau diketahui oleh setiap
pembaca, dan kenikmatan membaca tidak harus berdasarkan pengetahuan atau
penghayatan karya sastra yang merupakan hipogramnya (Riffaterre, Bab V), tetapi
pengetahuan sejarah sastra tentang hubungan semacam itu menimbulkan efek
estetik, tambahan.Tegangan itu dapat terwujud dengan berbagi ragam. Di atas
telah disebut nilai tambahan yang diperoleh dari sejak Chairil Anwar: “Senja di
Pelabuhan Kecil”, kalau dibaca
secara intertekstual dangan sejak Amir Hamzah yang berjudul “Berdiri Aku”contoh
lain: orang dapat
membaca dan merikmati Rara Mendut saduran Ajib Rosidi atau Y.B. Mangunwijaya
tanpa pengetahuan apa-apa mengenai latar belakang ceritanya. Tetapi seseorang
pembaca yang pernah membaca Serat Prancis pasti akan mengalami kenikmatan tambahan berkattenaganya itu.
10.Tegangan antara Mimestis dan Kreasi, atau Kenyataan dan Alternatifnya
Sastra alternatife mimesis dan kenyataan, serta keadaan
sastra.Dua aspek dari masalah kaitan antara sastra dan kenyatan langsung
relevan untuk nilai estetik karya sastra. Pertama-tama ambivalensi karya sastra terhadap kenyaataan merupakan
prinsip dasar kesusastraan: dalam membaca karya sastra kita selalu menghadapi
satu dunia yang sekaligus kita kenal (kembali) dan yang asing dan baru bagi
kita . Takaran antar kenyataan yang dikenal dan rekan yang baru sudah tentu
dapat berlainan antara sebuah karya dan karya lain. Tetapi mimesis dan kreasi,
dalam gabungan tertentu merupakan syarat mutlak untuk karya seni; karna justru
campuran itu menggalakan minat dan kegairahan kita selaku pembaca.Tetapi hal
itu tidak hanya benar pada tataran kaitan antara faktualitas dan fikionalitas,
antara yang sungguh terjadi dan yang menjadi rekaan atau fantasi.Karya seni
melibatkannya dalam masalah-masalah hakiki bagi kehidupan selaku manusia dan
warga masyarakatnya. Dalam konfrontasi antara norma kenyataan dan norma
alternatife mungkin
timbul keterharuhan, pengalaman estetikpada pembaca karena disadarinya tegangan
antara realitas dan impian hidupnya .
BAB III
SIMPULAN
Pendekatan Sejarah Sastra yang Tradisional terbagi atasKarya sastra dan
penulisnya ditempatkan dalam rangka yang disediakan oleh ilmu sejarah
umumPendekatan yang mengambil kerangka karya atau tokoh agung, atau gabungan
dua kriteria ini, Pendekatan lain yang pada abad ke-19 sangat populer dan
membawa hasil yang gilang-gemilang adalah dalam bahasa Jerman Stoffgeschichte yaitu penelitian sejarah
bahan-bahan dengan penelusuran sumber-sumber,
Pendekatan keempat yang khas, yang lebih memperhatikan asal-usul karya
sastra yaitu sejarah sastra yang mengambil sebagai kriteria utama untuk penahapan
sejarah pengaruh asing yang berturut-turut dapat ditelusuri pada perkembangan
sastra tertentu.
Faktor yang Relevan untuk Sejarah Sastra yaitu Dinamika Sistem Sastra,
Pengaruh Timbal Balik antar Jenis Sastra, Intertekstualitas Karya Individual
dan Sejarah Sastra, Sejarah Sastra dan Sejarah Umum, Penelitian Resepsi Sastra
dan Sejarah Sastra, Sastra Lisan dan Sejarah Sastra, Sejarah Sastra Indonesia
dan Sejarah Sastra dalam Bahasa Nusantara,
Nilai karya sastra adalah sesuatu yang variabel, menurut peranan
faktor-faktordari model semiotik dalam situasi konkret tertentu. Itulah alasan
terakhir dan paling mustahil mengapa ahli sastra selalu harus sadar akan model
semiotik karya sastra sebagai dasar penelitiannya. Hal itu tidak berarti bahwa
dalam sastra sebagai dasar penelitiannya. Hal itu tidak berarti bahwa dalam
setiap penelitian konkret selalu harus dieksplisitkan dan diikutsertakan hal
itu praktis juga tidak mungkin. Analisis struktur karya sastra adalah objek dan
tujuan penelitian yang sah, asal peneliti sadar bahwa hasilnya tidak mutlak
benar dan hanya bernilai nisbi. Demikianlah, penelitian resepsi karya sastra
dalam masyarakat tertentu atau sepanjang masa adalah objek penelitian yang
halal dan penting, dan tidak perlulah sekaligus mengadakan penelitian struktur
dan seterusnya.
DAFTAR PUSTAKA