Tugas Sintaksis 1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bahasa adalah alat untuk berkomunikasi yang digunakan manusia dengan sesama anggota masyarakat lain. Bahasa itu juga berupa pikiran, keinginan, atau perasaan yang ada pada diri si pembaca atau penulis. Bahasa yang digunakan itu hendaklah dapat mendukung maksud secara jelas agar apa yang dipikirkan, diinginkan, atau dirasakan itu dapat diterima oleh pendengar atau pembaca.
Dalam hal itu untuk menarik dan dapat mencapai sasaran secara baik kita juga harus menggunakan kalimat yang secara baik dengan variasi-variasi kalimat tersebut. Kalimat efektif ialah kalimat yang memiliki kemampuan untuk menimbulkan kembali gagasan-gagasan pada pikiran pendengar atau pembaca seperti gagasan yang ada pada pikiran pembicara atau penulis.
Kalimat dikatakan efektif apabila berhasil menyampaikan pesan, gagasan, perasaan, maupun pemberitahuan sesuai dengan maksud si pembicara atau penulis. Adapun keefektifan kalimat, selain dilihat dari ciri gramatikal, keselarasan, kepaduan dan kehematannya itu dapat dilihat dari kata-kata yang mempunyai unsur SPOK atau kalimat yang mempunyai ide atau gagasan pembicara/penulis. Kalimat sangat mengutamakan keefektifan informasi itu sehingga kejelasan kalimat itu dapat terjamin.
Kalimat adalah bagian ujaran yang memepunyai stuktur minimal subjek (S) dan (P) dan intonasinya menujukan bagian ujaran itu sudah lengkap dengan makna. Intonasi final kalimat dalam bahasa tulis dilambangkan dengan tanda titik, tanda tanya, atau tanda seru. Penetapan struktur bukanlah semata-mata gabungan atau ragkaian kata yang tidak mempunyai kesatuan bentuk. Lengkap dengan makna menunjukan sebuah kalimat harus mengandung pokok pikiran yang lengkap sebagai pengungkap maksud penutur.
Sesungguhnya yang menetukan satuan kalimat bukan banyaknya kata yang menjadi unsurnya, melainkan intonasinya. Setiap satuan kalimat dibatasi oleh adanya jeda panjang yang disertai nada akhir turun atau naik (Ramlan,1996). Dalam wujud tulisan, kalimat diucapkan dengan suara naik turun dan keras lembut, di sela jeda, dan diakhiri dengan intonasi akhir yang diikuti oleh kesenyapan yang mencegah terjadinya kesatuan asimilasi bunyi ataupun proses fonologi lainnya. Dalam wujud tulisan, kalimat dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik, tanda tanya, atau tanda seru (Alwi,et. al 1998; Kridalaksana, 1985).
Dalam berbahasa, baik secara lisan maupun tulis, kita sebenarnya tidak mengunakan kata-kata secara lepas. Akan tetapi, kata-kata itu terangkai mengikuti aturan atau kaidah yang berlaku sehingga terbentuklah rangkaian kata yang dapat mengungkapkan gagasan, pikiran, atau perasaan. Rangkaian kata yang dapat mengungkapkan gagasan, pikiran, atau perasaan itu dinamakan kalimat.
Kalimat yang kita gunakan sesungguhnya dapat dikembalikan ke dalam sejumlah kalimat dasar yang sangat terbatas. Dengan perkataan lain, semua kalimat yang kita gunakan berasal dari beberapa pola kalimat dasar saja. Sesuai dengan kebutuhan kita masing-masing, kalimat dasar tersebut kita kembangkan, yang pengembangannya itu tentu saja harus didasarkan pada kaidah yang berlaku.
Sintaktik atau dalam bahasa Inggris syntax adalah bagian dari hirarki gramatikal dalam ilmu linguistik bersama-sama dengan morfologi. Jika morfologi mempelajari hubungan gramatikal dengan kata maka sintaksis membahas kaidah gramatikal yang ada dalam hubungan antar kata pada satu bahasa yaitu kata-kata itu membentuk frase, klausa, kalimat bahkan wacana seperti paragraf (Verhaar, 1992:70).
Tulisan ini akan membahas dua hal pokok yaitu analisis paragraf sebagai sebuah wacana dan analisis kalimat-kalimat pembentuk paragraf. Paragraf adalah bagian dari sebuah karangan (dalam wacana tertulis) atau bagian dari suatu tuturan (dalam wacana lisan) yang dari segi bentuknya merupakan rangkaian kalimat yang saling terkait dan membentuk suatu kesatuan sedangkan dari segi maknanya merupakan satuan informasi yang memiliki satu ide pokok sebagai pengendalinya (Ramlan, 1993:1). Sebuah paragraf dalam wacana tulis dapat dibedakan dengan penulisan yang agak menjorok di awal kalimat atau terpisah dari kumpulan kalimat lainnya.
Sebagai sebuah wacana atau bagian dari sebuah wacana analisis, suatu paragraf dapat dinilai dari kohesi dan koherensinya.Paragraf yang kohesif adalah paragaraf yang padu dari segi bentuk. Adapun paragraf yang koheren adalah paragraf yang mengandung kalimat-kalimat dengan informasi yang berhubungan erat dan padu. Jadi kekohesifan adalah kepaduan bentuk sedangkan kekoherensian adalah kepaduan dalam bidang makna.
Analisi sintaktik kalimat pembentuk paragraf akan membahas jenis kalimat dan unsur pembentuknya sampai tataran frase. Klasifikasi jenis kalimat dapat didasarkan atas dua hal yaituberdasarkan unsur pembentuknya dan berdasarkan fungsinya dalam hubungan situasional (Ramlan, 1996:27-49). Klasifikasi berdasarakan unsur pembentuk itu akan membedakan apakah sebuah kalimat berklausa, apakah hanya terdiri dari satu klausa (kalimat sederhana) atau lebih dari satu klausa (kalimat luas: hubungannya setara atau tidak). Adapan klasifikasi berdasarkan fungsinya dalam hubungan situasional akan mengelompokkan kalimat-kalimat itu pada kalimat berita, tanya, atau suruh sesuai dengan ciri formal yang dimilikinya.
Selanjutnya, kalimat berklausa akan dianalisis pada tataran klausa. Pada tataran ini sebuah klausa akan diklasifikasi berdasarkan strukturnya yaitu apakah termasuk klausa lengkap (klausa mayor) atau tidak lengkap, ada bagian yang dihilangkan (klausa minor). Selain itu, dari segi ada tidaknya kata negatif dalam klusa itu akan menentukan apakah klausa itu termasuk klausa positif atau negatif. Kemudian dalam kategori kata atau frase pengisi fungsi predikatnya akan ditentukan apakah klausa tersebut klausa nominal verbal, bilangan atau depan. Selanjutnya, analisis klausa ini akan membagi klausa berdasarkan unsur pembentuknya dengan mengikuti penilitian sintaktik model Verhaar dan Ramlan yang akan mengkaji masing-masing klausa itu dari 3 hal, yaitu : fungsi, kategori, dan peran dari tiap unsur pembentuk klausa tersebut.
Verhaar mendefinisikan fungsi sintaksis sebagai sebuah konstituen bentuk yang bebas diisi oleh unsur semantik ataupun unsur kategorial apapun. Fungsi itu dapat disamakan dengan apa yang disebut slot dalam analisis tagmemik yang didefinisikan sebagai tempat kosong yang harus diisi dengan kategori dan peran unsur semantik tertentu. Oleh karena itu, analisis fungsional akan membagi sebuah bentuk bahasa dalam unsur yang lebih kecil dengan slot itu.
Kategori sintaksis adalah apa yang lazim disebut sebagai kelas kata seperti nomina, verba, adverbia, dan sebagainya. Analisis kategorial yang merupakan kelanjutan analisis fungsional biasanya akan menjelaskan kategori dari tiap fungsi yang sudah teridentifikasi. Jadi dalam hal itu, kategori ini bisa tidak hanya terdiri dari satu kata tetapi bisa saja satu frase.
Peran sintaksis menyangkut aspek makna dari tiap unsur dalam sebuah bentuk lingual. Jadi, analisis berdasarkan peran akan mempertimbangkan makna apa yang dikandung suatu unsur dalam hubungannya dengn unsur lain.
Selanjutnya, analisis akan bergerak pada tataran frase. Dari tiap frase pengisi fungsi dalam klausa yang ada dalam tataran ini, sebuah frase akan diketahui kategorinya serta jenisnya apakah termasuk frase endosentrik atau eksosentrik. Frase eksosentrik hanya berupa frase depan. Kemudian, tiap frase dipilah berdasarkan fungsi, kategori juga peran masing-masing unsur pembentuknya sampai akhirnya selesai pada tataran kata.
Agar mudah dipahami, analisis frase dan klausa berdasarkan fungsi, kategori, dan peran itu akan dibuat dalam bentuk tabel. Kolom tabel akan disesuaikan jumlah unsur slot atau fungsi yang ada pada tiap tataran itu. Adapun baris tabel selalu akan terdiri dari baris bentuk, fungsi, kategori, dan peran. Keempat urutan baris ini berulang sampai analisis selesai pada bentuk kata.

B. Identifikasi Masalah
Dalam kajian penelitian ini mengkaji berdasarkan fungsi, kategori, dan peran, pada sebuah artikel di harian Kompas edisi 18 Oktober 2009 dengan judul “menanti janji SBY”. Kesulitan  menganalisa kalimat dalam membedakan antara S, O, P, Pel, K  dalam sebuah kalimat, perlu menyiapkan konsep yang matang  tentang toeri kalimat.
Penelitian mengenai variasi struktur kalimat dibatasi berdasarkan fungsi, kategori, dan peran. Ragam bahasa yang digunakan adalah ragam bahasa media masa yang ada di harian Kompas. Sebagai sumber data, penelitian ini menggunakan teks artikel yang diterbitkan melalui harian Kompas edisi 18 Oktober 2009.

C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dapat dirumuskan beberapa masalah yang harus diuraikan, yaitu:
1. Bagaimana menganalisis kalimat pada artikel berdasarkan fungsi pada harian Kompas yang berjudul “menanti janji SBY”?
2. Bagaimana menganalisis kalimat pada artikel berdasarkan kategori pada harian Kompas yang berjudul “menanti janji SBY”?
3. Bagaimana menganalisis kalimat pada artikel berdasarkan peran pada harian Kompas yang berjudul “menanti janji SBY”?

D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah, ada beberapa tujuan, yaitu:
1. Mendeskripsikan kalimat-kalimat berdasarkan fungsinya.
2. Mendeskripsikan kalimat-kalimat berdasarkan kategori.
3. Mendeskripsikan kalimat-kalimat berdasarkan peran.



BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORITIS

A. Kajian Pustaka
Kajian pustaka dilakukan terhadap hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan para peneliti sebelumnya yang relevan dengan penelitian ini. Selanjutnya pustaka tersebut digunakan sebagai landasan teori atau pijakan dalam menganalisis temuan penelitian ini. Pustaka yang relevan yang mendasari penelitian ini meliputi karya-karya yang berupa hasil penelitian yang telah dilakukan.
Penelitian yang dilakukan oleh Rofiudin (1990) meneliti bentuk dan fungsi pertanyaan di dalam kelas dan keluarga. Temuannya adalah bahwa di dalam interaksi kelas sekolah dasar ada delapan bentuk pertanyaan yang dapat memerankan empat fungsi pertanyaan, yaitu meminta penjelasan, memohon, melarang, dan meminta ketegasan. Di dalam interaksi keluarga ada sebelas bentuk pertanyaan yang dapat memerankan enam fungsi, yaitu meminta penjelasan, memohon atau mengajak, melarang atau menolak, memuji atau mengejek, mengeluh, dan meminta ketegasan. Adapun penelitian selanjutnya (1994) meneliti sistem pertanyaan di dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan analisis pragmatik. Menurutnya pertanyaan di dalam bahasa Indonesia dapat dipergunakan untuk menggunakan empat jenis tindak tutur, yaitu tindak tutur direktif, ekspresif, komisif, dan representatif.
Mulyadi (1998), meneliti struktur semantis verba bahasa Indonesia. Teori yang digunakan dalam penelitian Mulyadi adalah teori Makna Alamiah Metabahasa. Aspek makna yang dikaji adalah klasifikasi, ketransitifan, peran, makna asli, dan struktur. Berdasarkan analisis yang dilakukannya, verba bahasa Indonesia dapat digolongkan atas keadaan, proses, dan tindakan. Verba keadaan mempunyai kelas kognisi, pengetahuan, emosi, dan persepsi; verba proses mempunyai kelas kejadian, proses badaniah, dan gerakan (bukan agentif); verba tindakan memiliki kelas gerakan (agentif), ujaran, dan perpindahan. Berdasarkan analaisis peran semantisnya, verba keadaan pada umumnya memiliki peran lokatif dan lokatif-tema. Pada verba proses, penderita diderivasi menjadi menjadi pasien dan tema. Relasi semantis verba tindakan ialah agen-lokatif, agen-tema, dan agen-pasien.
Walaupun penelitian Mulyadi menggunakan teori yang berbeda dengan penelitian ini tetapi penelitian Mulyadi dapat dimanfaatkan terutama cara menentukan keanggotaan setiap verba. Analisis yang dilakukan Mulyadi dalam menentukan keanggotaan setiap verba cukup tajam dan jelas sehingga cara analisisnya bermanfaat apabila dijadikan acuan dalam penelitian ini.
Masreng (2003) dalam tesisnya mengkaji tentang struktur dan peran semantis verba dengan makna emosi dalam bahasa Kei. Teori yang digunakan untuk mengungkapkan karakteristik semantik alamiah bahasa Key adalah teori Metabahasa Semantik Alami (NSM) yang diperkenalkan oleh Wierzbicka (1996) dengan teknik analisis parafrase. Teori lain yang digunakan adalah teori Peran Umum (Foley dan Van Valin, 1984 dan La Pola, 1997), dan teori Peranti Emotif oleh Ullmann (1977).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Masreng menunjukkan bahwa verba emosi bahasa Key memiliki tiga ciri, yaitu yang berbentuk ilokusi, peranti leksikal, dan idiomatik. Berdasarkan ciri-ciri tersebut, verba dengan makna emosi diklasifikasikan menjadi empat domain makna. Keempat domain makna tersebut, yakni verba ilokusi oral, verba emosi rasa fisik, rasa psikis, dan rasa lainnya. Di samping itu, struktur semantis verba emosi memperhatikan kaidah makna bersistem. Artinya, dari makna sederhana menuju ke makna kompleks. Misalnya, suk suka, mayun sangat suka, dan ahel sangat suka/sangat menginginkan. Sistem ini berbeda dengan peran semantis verba dengan makna emosi dalam konstruksi klausa. Verba-verba tindak ilokusi oral bergeser dari peran agen ke lokatif dan dari pasien ke tema. Di lain pihak, verba-verba keadaan yang bermakna emosi memiliki ciri peran undergoer dalam struktur logisnya. Misalnya, babuax dalam Ya ya-babuax saya takut [undergoer], dan I ni mashun dia bersedih [undergoer].
Kajian yang dilakukan oleh Masreng berfokus pada struktur dan peran semantis verba dengan makna „emosi‟ saja, dan tidak membahas makna verba secara keseluruhan. Oleh karena itu, kajian Masreng belum menggambarkan perilaku verba secara keseluruhan, tetapi penelitiannya memberi kontribusi dalam proses analisis data penelitian ini. Keempat jenis tindak tutur tersebut merupakan kajian penelitiannya yang digunakan peneliti sebagai acuan atau daftar rujukan.

B. Kerangka Teoritis
1. Pengertian Sintaksis
Istilah sintaksis berasal dari bahasa Yunani, yaitu sun yang berarti dengan dan tattein yang berarti menempatkan. Secara etimologis, sintaksis berarti menempatkan bersama-bersama kata-kata atau kelompok kata menjadi kalimat (Ahmad dalam Putrayasa, 2008: 1). Banyak pakar memberikan definisi mengenai sintaksis ini. Ramlan dalam (Putrayasa, 2008:1) mengatakan, bahwa sintaksis adalah cabang ilmu bahasa yang membicarakan seluk beluk wacana, kalimat, klausa, dan frasa.
Verhaar menyatakan bahwa, sintaksis adalah tatabahasa yang membahas hubungan antar-kata dalam tuturan. Sintaksis berurusan dengan tatabahasa di antara kata-kata dalam tuturan (1999: 161).
Sintaksis merupakan cabang linguistik yang mempelajari hubungan antara kata dengan kata, atau dengan satuan-satuan yang lebih besar, atau antara satuan-satuan yang lebih besar itu dalam bahasa. Morfologi, bersama-sama dengan sintaksis, merupakan tataran ilmu bahasa yang disebut ilmu bahasa atau gramatika. Morfologi juga disebut tata kata atau tata bentuk merupakan studi gramatikal struktur internal kata, sedangkan sintaksis yang juga disebut tata kalimat merupakan studi gramatikal mengenai kalimat. Batasan antara morfologi dan sintaksis di atas hanya sebagai pegangan dasar saja, sebab sebenarnya batas kedua wilayah studi itu tidaklah tegas.
Sintaksis adalah telaah mengenai pola-pola yang dipergunakan sebagai sarana untuk menggabungkan kata menjadi kalimat, Stryker dalam (Tarigan, 2009: 4). Menurut Blonch dan Trager (dalam Tarigan, 2009: 4), analisis mengenai konstruksi-konstruksi yang hanya mengikutsertakan bentuk-bentuk bebas disebut sintaksis. Sedangkan, menurut Ramlan dalam Keraf, sintaksis adalah bagian dari tata bahasa yang membicarakan struktur frase dan kalimat (2009: 4).
Berdasarkan pernyataan-pernyataaan dan batasan di atas, dapat disimpulkan bahwa sintaksis adalah ilmu tata kalimat yang membahas susunan kalimat dan bagiannya; lingkungan gramatikal dari suatu unsur bahasa yang menentukan fungsi, kategori, dan peran unsur tersebut.
Menurut Chaer (994:206), bahwa yang biasa dibicarakan adalah (1) struktur sintaksis, mencakup masalah fungsi, kategori, dan peran sintaksis; serta alat-alat yang digunakan dalam membangun struktur itu; (2) satuan-satuan sintaksis yang berupa frasa, klausa, kalimat, dan wacana; dan (3) hal-hal yang berkenaan dengan sintaksis, seperti masalah modus, aspek, dan sebagainya.
2. Pola Sintaksis
Pola Sintaksis adalah struktur, urutan, tatanan kalimat yang membahas susunan kalimat dan bagiannya; lingkungan gramatikal dari suatu unsur bahasa yang menentukan fungsi, kategori, dan peran unsur tersebut. Menurut Chaer (994:206), bahwa yang biasa dibicarakan adalah (1) struktur sintaksis, mencakup masalah fungsi, kategori, dan peran sintaksis; serta alat-alat yang digunakan dalam membangun struktur itu; (2) satuan-satuan sintaksis yang berupa frasa, klausa, kalimat, dan wacana; dan (3) hal-hal yang berkenaan dengan sintaksis, seperti masalah modus, aspek, dan sebagainya. Pola sintaksis juga berupa analisis kalimat berdasarkan jenis kalimat, antara lain kalimat tak lengkap, kalimat tunggal, kalimat majemuk, kalimat berdasarkan bentuk sintaksis (kalimat deklaratif, kalimat imperatif, kalimat interogatif, kalimat imperatif).
Alwi menyatakan bahwa istilah kalimat mengandung unsur paling tidak memiliki subjek dan predikat, tetapi telah dibubuhi intonasi atau tanda baca (2003: 39). Menurut Alwi dkk. (2003: 35-39), kalimat berwujud rentetan kata yang disusun sesuai dengan kaidah yang berlaku. Tiap kata dalam kalimat mempunyai tiga klasifikasi, yaitu berdasarkan (1) kategori sintaktis, (2) fungsi sintaktis, dan (3) peran semantisnya.
2.1 Kategori sintaktis sering pula disebut dengan kategori atau kelas kata. Dalam bahasa Indonesia terdapat empat kategori sintaktis yang utama, yaitu verba (kata kerja), nomina (kata benda, adjektiva (kata sifat), dan adverbial (kata keterangan).
2.2 Fungsi sintaktis yaitu tiap kata atau frasa dalam kalimat mempunyai fungsi yang mengaitkannya dengan kata atau frasa lain yang ada dalam kalimat tersebut. Fungsi itu bersifat sintaktis, artinya berkaitan dengan urutan kata atau frasa dalam kalimat. Fungsi sintaksis utama dalam bahasa Indonesia adalah predikat, subjek, objek, pelengkap, dan keterangan.
Disamping itu terdapat fungsi lain yaitu fungsi atributif (yang menerangkan), fungsi koordinatif (yang menggabungkan secara setara), subordinatif (yang menggabungkan secara bertingkat). Berikut ini penjelasan mengenai fungsi sintaksis menurut Alwi dkk. (2003: 326).
a. Fungsi Predikat
Predikat merupakan konstituen pokok yang disertai dengan konstituen subjek di sebelah kiri, jika ada, konstituen objek, pelengkap, dan/ atau keterangan wajib disebelah kanan. Predikat kalimat biasanya berupa frasa verbal atau frasa adjektival. Pada kalimat yang berpola SP, predikat dapat pula berupa frasa nominal, frasa numeral, atau frasa preposisional, di samping frasa verbal dan frasa adjektival.
b. Fungsi Subjek
Subjek merupakan fungsi sintaksis terpenting yang kedua setelah predikat. Pada umumnya subjek berupa nomina, frasa nominal, atau klausa. Pada umumnya subjek berada di sebelah kiri predikat. Jika unsur subjek panjang dibandingkan dengan unsur predikat, subjek sering juga diletakkan di akhir kalimat. Subjek pada kalimat imperatif adalah orang kedua atau orang pertama jamak dan biasanya tidak hadir. Subjek pada kalimat aktif transitif akan menjadi pelengkap bila kalimat itu dipasifkan.
c. Fungsi Objek
Objek adalah konstituen kalimat yang kehadirannya dituntut oleh predikat yang berupa verba transitif pada kalimat aktif. Letaknya selalu setelah predikatnya. Dengan demikian, objek dapat dikenali dengan meperhatikan (1) jenis predikat yang dilengkapinya dan (2) ciri khas objek itu sendiri.
Verba transitif biasanya ditandai oleh kehadiran afiks tertentu. Objek biasanya berupa nomina atau frasa nominal. Objek pada kalimat aktif transitif akan menjadi subjek jika di pasifkan. Potensi objek menjadi subjek apabila kalimat itu dipasifkan itu merupakan ciri utama yang membedakan objek dari nomina atau frasa nominal.
Objek
Pelengkap
1. berwujud frasa nominal atau klausa
1. berwujud frasa nominal, frasa verbal, frasa adjektivsl, frasa preposisional, atau klausa
2. berada langsung di belakang predikat
2. berada langsung bibelakang predikat jika tidak ada objek dan di belakang objek jika unsur ini muncul
3. menjadi subjek akibat pemasifan kalimat
3. tidak dapat menjadi subjek apabila ada pemasifan kalimat
4. dapat diganti dengan pronomina –nya
4. tidak dapat diganti dengan nya kecuali dalam kombinasi preposisiselain di , ke, dari, dan akan
d. Fungsi Pelengkap
Kebanyakan orang sering mencampuradukkan pengertian objek dan pelengkap. Hal ini dapat dimengerti karena antara kedua konsep itu memang terdapat kemiripan. Baik objek maupun pelengkap sering berwujud nomina, dan keduanya sering menuduki tempat yang sama yakni dibelakang verba.
2.3 Peran Semantis
Pada dasarnya tiap kalimat memerikan suatu peristiwa atau keadaan yang melibatkan satu peserta, atau lebih, dengan peran semantis yang berbedabeda (Alwi dkk, 2003: 334). Peran semantik merupakan analisis mengenai kedudukan kata dalam kalimat yang berupa pelaku, perbuatan, pengalaman, dll. Namun, dalam penelitian ini tidak membahas mengenai peran semantik.
2.4 Jenis Kalimat
Menurut Alwi, dkk. (2003), jenis kalimat dapat ditinjau dari sudut (a) jumlah klausanya, (b) bentuk sintaksisnya, (c) kelengkapan unsurnya, (d) susunan subjek dan predikatnya.
(a) Jumlah klausa
Kalimat berdasarkan jumlah klausa dapat dibagi atas kalimat tunggal dan kalimat majemuk.
(b) Bentuk sintaksis
Kalimat berdasarkan bentuk sintaksis di bagi atas (1) kalimat deklaratif atau kalimat berita, (2) kalimat imperatif atau kalimat perintah, (3) kalimat interogatif atau kalimat tanya, dan (4) kalimat ekslamatif atau kalimat seruan. Penggolongan kalimat berdasarkan bentuk sintaksisnya itu tidak berkaitan langsung dengan fungsi pragmatis atau nilai komunikatifnya yakni fungsi pemakaian bahasa untuk tujuan komunikasi.
(c) Kelengkapan unsur
Berdasarkan kelengkapan unsurnya, kalimat dapat dibedakan atas (1) kalimat lengkap atau kalimat major, (2) kalimat taklengkap atau kalimat minor.
(d) Susunan subjek predikat
Kalimat dari segi susunan unsur subjek dan predikat dibedakan atas (1) kalimat biasa, (2) kalimat inversi.
Subjek pada penelitian ini adalah pola sintaksis, sedangkan objek penelitiannya adalah artikel di harian Kompas. Objek penelitian ini merupakan kalimat derivasional, kalimat yang strukturnya sudah mengalami perubahan demi kelancaran komunikasi, oleh karena itu peneliti membatasi ruang lingkup penelitian pada jenis kalimat yaitu 1) kalimat berdasarkan bentuk sintaksis yang diklasifikasi berdasarkan kategori sintaktis; 2) kalimat berdasarkan bentuk sintaksis yang diklasifikasi berdasarkan fungsi sintaktis; 3) kalimat berdasarkan bentuk sintaksis yang diklasifikasi berdasarkan peran semantisnya.
3. Pengertian Frasa
Unsur terkecil sintaksis adalah frasa. Frasa adalah satuan linguistik yang secara potensional merupakan gabungan dua kata atau lebih yang tidak mempunyai ciri-ciri klausa, menurut Cook, Elson, dan Pickett (dalam Bagus, 2008: 2). Ramlan (dalam Bagus, 2008: 2) mengatakan, bahwa frase adalah satuan gramatikal yang terdiri atas dua kata atau lebih yang tidak melampaui batas fungsi unsur klausa. Kelompok kata yang menduduki sesuatu fungsi di dalam kalimat disebut frase, walaupun tidak semua frase terdiri atas kelompok kata menurut Putrayasa (dalam Bagus, 2008: 3). Frasa adalah suatu konstruksi yang terdiri atas dua konstituen atau lebih yang dapat mengisi fungsi sintaksis tertentu dalam kalimat tetapi tidak melampaui batas fungsi klausa atau dapat dikatakan frasa itu nonpredikatif (Tarmini, 11: 2012).
Menurut beberapa ahli, frasa dapat disimpulkan bahwa, Frasa merupakan satuan sintaksis yang terdapat satu tingkat di bawah klausa dan satu tingkat di atas kata. Secara sederhana penngertian frasa adalah satuan gramatika yang terdiri atas dua kata atau lebih yang tidak melebihi batas fungsi klausa, atau satuan gramatika yang tidak berpredikat (nonpredikatif).
4. Jenis-Jenis Frasa
Frasa dibagi atas beberapa jenis antara lain:
(1) frase eksosentrik;
(2) frase endosentris;
(3) frase koordinatif; dan
(4) frase apositif (Chaer, 1994: 225).
Menurut Tarigan (2009: 96), berdasarkan tipe strukturnya frase dibedakan atas (1) frase eksosentris; dan (2) frase endosentris. Jenis frasa berdasarkan distribusinya dalam kalimat, frasa dapat dibedakan menjadi frasa endosentris dan eksosentris (Tarmini, 2012: 12).
Jenis frasa berdasarkan kategori atau kelas dapat diklasifikasikan menjadi enam golongan, yaitu:
(1) frasa nominal atau frasa benda ;
(2) frasa verbal atau frasa kerja;
(3) frasa adjektival atau frasa sifat;
(4) frasa numeral atau frasa bilangan;
(5) frasa adverbial atau frasa keterangan; dan
(6) frasa preposisional dan frasa depan (Tarmini, 2012: 229).
5. Pengertian Klausa
Menurut Alwi, dkk., (2003: 39), istilah klausa digunakan untuk merujuk pada deretan kata yang paling tidak memiliki subjek dan predikat, tetapi belum memiliki intonasi atau tanda baca tertentu. Klausa adalah kelompok kata yang hanya mengandung satu predikat menurut Cook; Elson dan Pickett dalam (Tarigan, 2009: 43). Menurut Ramlan dalam (Tarigan, 2009: 43) klausa adalah suatu bentuk linguistik yang terdiri atas subjek dan predikat.
Klausa merupakan satuan sintaksis yang berada di atas satuan frasa dan di bawah satuan kalimat, berupa runtutan kata-kata berkonstruksi predikatif. Artinya, di dalam konstruksi itu ada komponen berupa kata atau frasa, yang berfungsi sebagai predikat; dan yang lain berfungsi sebagai subjek, sebagai objek, dan sebagainya (Chaer, 2009: 41). Sedangkan menurut Tarmini (2012: 26), klausa merupakan sebuah kontruksi kebahasaan yang dapat dikembangkan menjadi kalimat. Dapat dikatakan klausa sebagai kalimat dasar. Kalimat dasar merupakan kalimat deklaratif yang memiliki struktur predikasi. Kalimat dasar merupakan kalimat yang memenuhi kondisi:
(i)   kalimat itu hanya memiliki satu verba;
(ii)  kalimat itu tidak mengandung unsur yang dihubungkan oleh konjungsi dengan unsur lain;
(iii) Subjek, Objek, dan Predikat kalimat dasar memunyai spesifikasi minimal; dan
(iv) kalimat dasar tidak mengandung operator sekunder seperti negasi, perintah, pertanyaan, dan modalitas.
6. Jenis-Jenis Klausa
Klausa dibagi atas beberapa jenis. Menurut Chaer (2009:42) klausa dapat dibedakan berdasarkan kategori dan tipe kategori yang menjadi predikatnya.
Berikut contoh dan penjelasan jenis-jenis klausa.
1. Klausa Nominal, yakni klausa yang predikatnya berkategori nomina.
Contoh:
Kakeknya      orang batak
S                    P
Ibunya           kepala SD        di Bekasi
S                    P                      Ket.
2. Klausa Verbal, yakni klausa yang predikatnya berkategori verba. Secara gramatikal dikenal adanya beberapa tipe verba antara lain:
a) klausa verbal transitif, yakni yang predikatnya berupa verba transitif.
Kakek       membaca         komik
S               P                      O
b) klausa verbal intransitif, yakni klausa yang yang predikatnya berupa verba intransitif, misalnya.
Anak-anak            berlari
S                           P
3. Klausa Ajektival, yakni klausa yang predikatnya berkategori ajektifa, misalnya.
Nenekku       masih cantik
S                    P
4. Klausa Peposisional, yakni klausa yang predikatnya berkategori preposisi. Misalnya:
Nenek           ke Medan
S                    P
5. Klausa Numeral, yakni klausa yang predikatnya berkategori numeralia. Misalnya:
Kucingnya    dua ekor
S                    P

7. Pengertian Kalimat
Satuan bahasa yang menjadi inti pembicaraan dalam sintaksis adalah kalimat. Kalimat merupakan satuan di atas klausa dan di bawah satuan wacana. Kalimat adalah satuan sintaksis yang disusun dari konstituen dasar, yang biasany berupa klausa, dilengkapi dengan konjungsi bila diperlukan, serta disertai dengan intonasi final (Chaer, 2009: 44).
Menurut Hasan Alwi, dkk., kalimat merupakan satuan bahasa terkecil, dalam wujud lisan maupun tulisan yang mengungkapkan pikiran yang utuh. Dalam wujud lisan, kalimat diucapkan dengan suara naik turun dan keras lembut, disela jeda, dan diakhiri dengan intonasi akhir yang diikuti oleh kesenyapan yang mencegah terjadinya perpaduan ataupun asimilasi bunyi ataupun proses fonologis lainnya. Dalam wujud tulisan berhuruf Latin, kalimat dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda baca titik (.), tanda tanya (?), atau tanda seru (!).
Kalimat merupakan satuan bahasa terkecil, dalam wujud lisan atau tulisan, yang mengungkapkan pikiran yang utuh. Dalam tuturan, kalimat disampaikan dengan lemah lembut, disela jeda, dan diakhiri dengan intonasi akhir yang diikuti dengan kesenyapan yang mencegah terjadinya perpaduan atau pun asimilasi bunyi atau proses fonologis lainnya. Wujud tulisan berhuruf Latin, kalimat dimualai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik (.), tanda tanya (?), atau tanda seru  (!); sementara itu, di dalamnya disertakan pula berbagai tanda baca seperti koma (,), titik dua (;), tanda pisah (-), dan spasi. Tanda titik, tanda tanya, dan tanda seruu sepadan dengan intonasi akhir, sedangkan tanda baca sepadan dengan jeda (Alwi, dkk., 2003: 311).
Pengertian kalimat pada penelitian ini adalah kalimat sebagai satu pikiran yang lengkap, meskipun hanya terdapat satu kata pun dapat dikatakan sebagai kalimat.
Alwi menyatakan bahwa istilah kalimat mengandung unsur paling tidak memiliki subjek dan predikat, tetapi telah dibubuhi intonasi atau tanda baca (2003: 39). Menurut Alwi dkk. (2003: 35-39), kalimat berwujud rentetan kata yang disusun sesuai dengan kaidah yang berlaku. Tiap kata dalam kalimat mempunyai tiga klasifikasi, yaitu berdasarkan (1) kategori sintaktis, (2) fungsi sintaktis, dan (3) peran semantisnya.
1) Kategori sintaktis sering pula disebut dengan kategori atau kelas kata. Dalam bahasa Indonesia terdapat empat kategori sintaktis yang utama, yaitu verba (kata kerja), nomina (kata benda, adjektiva (kata sifat), dan adverbial (kata keterangan).
2) Fungsi sintaktis yaitu tiap kata atau frasa dalam kalimat mempunyai fungsi yang mengaitkannya dengan kata atau frasa lain yang ada dalam kalimat tersebut. Fungsi itu bersifat sintaktis, artinya berkaitan dengan urutan kata atau frasa dalam kalimat. Fungsi sintaksis utama dalam bahasa Indonesia adalah predikat, subjek, objek, pelengkap, dan keterangan. Disamping itu terdapat fungsi lain yaitu fungsi atributif (yang menerangkan), fungsi koordinatif (yang menggabungkan secara setara), subordinatif (yang menggabungkan secara bertingkat).
3) Peran Semantis
Pada dasarnya tiap kalimat memerikan suatu peristiwa atau keadaan yang melibatkan satu peserta, atau lebih, dengan peran semantis yang berbeda-beda (Alwi dkk, 2003: 334).
Perhatikan contoh berikut ini.
a. Farida menunggui adiknya.
b. Penjahat itu mati.
Dari contoh a dan b dapat dilihat bahwa Farida merupakan pelaku, yakni orang yang melakukan perbuatan menunggu. Adiknya pada kalimat tersebut merupakan sasaran, yakni yang terkena perbuatan yang dilakukan oleh pelaku. Sedangkan kata penjahat pada kalimat b bukanlah pelaku karena mati bukanlah perbuatan yang dia lakukan, melainkan sesuatu yang terjadi padanya. Dari contoh di atas dapat disimpulkan bahwa peran semantik merupakan analisis mengenai kedudukan kata dalam kalimat yang berupa pelaku, perbuatan, pengalaman, dll.
a. Pelaku
Pelaku adalah peserta yang melakukan perbuatan yang dinyatakan oleh verba predikat. Peserta umumnya manusia atau binatang. Tetapi benda yang potensial juga dapat berfungsi sebagai pelaku. Peran pelau itu merupakan peran semantis utama subjek kalimat aktf dan pelengkap kalimat pasif.
Perhatikan contoh berikut.
1) Anak itu sedang membaca koran. (kalimat aktif)
2) Buku saya di pinjam Andi. (kalimat pasif)
b. Sasaran
Sasaran adalah peserta yang dikenai perbuatan yang dinyatakan oleh verba predikat. Peran sasaran itu merupakan peran utama objek atau pelengkap seperti pada contoh berikut ini.
1) Doni mengirim uang kepada ibunya.
2) Ibu mengambilkan ayag air minum.
c. Pengalam
Pengalam adalah peserta yang mengalami keadaan atau peristiwa yang dinyatakan predikat. Peran pengalam merupakan unsur subjek yang predikatnya adjektiva atau verba taktransitif yang lebih menyatakan keadaan, contoh:
1) Adik saya sakit hari ini.
2) Saya melihat gunung itu meletus.
d. Peruntung
Peruntung adalah peserta yang beruntung dan yang memperoleh manfaat dari keadaan, peristiwa atau perbuatan yang dinyatakan oleh predikat. Partisipasi peruntung biasanya berfungsi sebagai objek, pelengkap, atau sebagai subjek verba jenis mempunyai atau menerima.
Contoh:
1) Ayah memberi uang kepada saya.
2) Ibu membelikan Tuti kalung.
e. Atribut
Dalam kalimat yang predikatnya nomina, predikat tersebut mempunyai peran semantis atribut. Perhatikan contoh berikut.
1) Orang itu guru saya.
2) Wanita itu ibunya.
f. Peran Semantik Keterangan
Disamping kelima peran si atas, ada peran semantis lain yang terdapat pada fungsi keterangan tempat, keterangan alat, dan keterangan sumber. Peran semantis ini pada dasarnya sesuai dengan sifat kodratif dari nomina yang ada pada keterangan.
8. Wacana
Wacana adalah rentetan kalimat yang berkaitan sehingga terbentuklah makna yang serasi diantara kalimat-kalimat itu.
Sebagai satuan bahasa yang lengkap, maka dalam wacana itu berarti terdapat konsep, gagasan, pikiran, atau ide yang utuh, yang bisa dipahami oleh pembaca (dalam wacana tulis) atau pendengar (dalam wacana lisan) tanpa keraguan apapun. Sebagai satuan gramatikal tertinggi atau terbesar, wacana dibentuk dari kalimat-kalimat yang memenuhi persyaratan gramatikal, dan persyaratan kewacanaan lainnya. Persyaratan gramatikal dapat dipenuhi kalau dalam wacana itu sudah terbina kekohesifan, yaitu adanya keserasian hubungan antara unsur-unsur yang ada dalam wacana sehingga isi wacana apik dan benar.
1. Alat Wacana
Alat-alat gramatikal yang dapat digunakan untuk membuat sebuah wacana menjadi kohesif, antara lain: Pertama, konjungsi, yakni alat untuk menghubung-hubungkan bagian-bagian kalimat; atau menghubungkan paragraf dengan paragraf. Kedua, menggunakan kata ganti dia, nya, mereka, ini, dan itu sebagai rujukan anaforis sehingga bagian kalimat yang sama tidak perlu diulang melainkan menggunakan kata ganti. Ketiga, menggunakan elipsis, yaitu penghilangan bagian kalimat yang sama yang terdapat kalimat yang lain.
Selain dengan upaya gramatikal, sebuah wacana yang kohesif dan koheren dapat juga dibuat dengan bantuan berbagai aspek semantik, antara lain: Pertama, menggunakan hubungan pertentangan pada kedua bagian kalimat yang terdapat dalam wacana itu. Kedua, menggunakan hubungan generik - spesifik; atau sebaliknya spesifik - generik. Ketiga, menggunakan hubungan perbandingan antara isi kedua bagian kalimat; atau isi antara dua buah kalimat dalam satu wacana. Keempat, menggunakan hubungan sebab - akibat di antara isi kedua bagian kalimat; atau isi antara dua buah kalimat dalam satu wacana. Kelima, menggunakan hubungan tujuan di dalam isi sebuah wacana. Keenam, menggunakan hubungan rujukan yang sama pada dua bagian kalimat atau pada dua kalimat dalam satu wacana.
2. Jenis Wacana
Berkenaan dengan sasarannya, yaitu bahasa lisan atau bahasa tulis, dilihat adanya wacana lisan dan wacana tulis.Dilihat dari penggunaan bahasa apakah dalam bentuk uraian ataukah bentuk puitik dibagi wacana prosa dan wacana puisi. Selanjutnya, wacana prosa, dilihat dari penyampaian isinya dibedakan menjadi wacana narasi, wacana eksposisi, wacana persuasi dan wacana argumentasi.