BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Bahasa adalah alat untuk berkomunikasi yang digunakan manusia
dengan sesama anggota masyarakat lain. Bahasa itu juga berupa pikiran,
keinginan, atau perasaan yang ada pada diri si pembaca atau penulis. Bahasa
yang digunakan itu hendaklah dapat mendukung maksud secara jelas agar apa yang
dipikirkan, diinginkan, atau dirasakan itu dapat diterima oleh pendengar atau
pembaca.
Dalam hal itu untuk menarik dan dapat mencapai sasaran secara baik
kita juga harus menggunakan kalimat yang secara baik dengan variasi-variasi
kalimat tersebut. Kalimat efektif ialah kalimat yang memiliki
kemampuan untuk menimbulkan kembali gagasan-gagasan
pada pikiran pendengar atau pembaca seperti gagasan yang ada pada pikiran
pembicara atau penulis.
Kalimat dikatakan efektif apabila berhasil menyampaikan pesan, gagasan, perasaan, maupun
pemberitahuan sesuai dengan maksud si pembicara atau penulis. Adapun
keefektifan kalimat, selain dilihat dari ciri gramatikal, keselarasan, kepaduan
dan kehematannya itu dapat dilihat dari kata-kata yang mempunyai unsur SPOK
atau kalimat yang mempunyai ide atau gagasan pembicara/penulis. Kalimat sangat
mengutamakan keefektifan informasi itu sehingga kejelasan kalimat itu dapat
terjamin.
Kalimat adalah bagian ujaran yang memepunyai stuktur minimal subjek (S)
dan (P) dan intonasinya menujukan bagian ujaran itu sudah lengkap dengan makna.
Intonasi final kalimat dalam bahasa tulis dilambangkan dengan tanda titik,
tanda tanya, atau tanda seru. Penetapan struktur bukanlah semata-mata gabungan
atau ragkaian kata yang tidak mempunyai kesatuan bentuk. Lengkap dengan makna
menunjukan sebuah kalimat harus mengandung pokok pikiran yang lengkap sebagai
pengungkap maksud penutur.
Sesungguhnya yang menetukan satuan kalimat bukan banyaknya kata yang
menjadi unsurnya, melainkan intonasinya. Setiap satuan kalimat dibatasi oleh
adanya jeda panjang yang disertai nada akhir turun atau naik (Ramlan,1996).
Dalam wujud tulisan, kalimat diucapkan dengan suara naik turun dan keras
lembut, di sela jeda, dan diakhiri dengan intonasi akhir yang diikuti oleh
kesenyapan yang mencegah terjadinya kesatuan asimilasi bunyi ataupun proses
fonologi lainnya. Dalam wujud tulisan, kalimat dimulai dengan huruf kapital dan
diakhiri dengan tanda titik, tanda tanya, atau tanda seru (Alwi,et. al
1998; Kridalaksana, 1985).
Dalam berbahasa, baik secara lisan maupun tulis, kita
sebenarnya tidak mengunakan kata-kata secara lepas. Akan tetapi, kata-kata itu
terangkai mengikuti aturan atau kaidah yang berlaku sehingga terbentuklah
rangkaian kata yang dapat mengungkapkan gagasan, pikiran, atau perasaan.
Rangkaian kata yang dapat mengungkapkan gagasan, pikiran, atau perasaan itu
dinamakan kalimat.
Kalimat yang kita gunakan sesungguhnya dapat
dikembalikan ke dalam sejumlah kalimat dasar yang sangat terbatas. Dengan
perkataan lain, semua kalimat yang kita gunakan berasal dari beberapa pola
kalimat dasar saja. Sesuai dengan kebutuhan kita masing-masing, kalimat dasar
tersebut kita kembangkan, yang pengembangannya itu tentu saja harus didasarkan
pada kaidah yang berlaku.
Sintaktik atau dalam bahasa Inggris syntax adalah
bagian dari hirarki gramatikal dalam ilmu linguistik bersama-sama
dengan morfologi. Jika morfologi mempelajari hubungan gramatikal dengan kata
maka sintaksis membahas kaidah gramatikal yang ada dalam hubungan antar kata pada
satu bahasa yaitu kata-kata itu membentuk frase, klausa, kalimat bahkan wacana
seperti paragraf (Verhaar,
1992:70).
Tulisan ini akan membahas dua hal pokok yaitu analisis
paragraf sebagai sebuah wacana dan analisis kalimat-kalimat pembentuk paragraf.
Paragraf adalah bagian dari sebuah karangan (dalam wacana tertulis) atau bagian
dari suatu tuturan (dalam wacana lisan) yang dari segi bentuknya merupakan
rangkaian kalimat yang saling terkait dan membentuk suatu kesatuan sedangkan
dari segi maknanya merupakan satuan informasi yang memiliki satu ide
pokok sebagai pengendalinya (Ramlan,
1993:1). Sebuah paragraf dalam wacana
tulis dapat dibedakan dengan penulisan yang agak menjorok di awal
kalimat atau terpisah dari kumpulan kalimat lainnya.
Sebagai sebuah wacana atau bagian dari sebuah wacana
analisis, suatu paragraf dapat dinilai dari kohesi dan
koherensinya.Paragraf yang kohesif adalah paragaraf yang padu dari segi
bentuk. Adapun paragraf yang koheren adalah paragraf yang mengandung kalimat-kalimat
dengan informasi yang berhubungan erat dan padu. Jadi kekohesifan adalah
kepaduan bentuk sedangkan kekoherensian adalah kepaduan dalam bidang makna.
Analisi sintaktik kalimat pembentuk paragraf akan
membahas jenis kalimat dan unsur pembentuknya sampai tataran frase. Klasifikasi jenis kalimat dapat didasarkan atas dua
hal yaituberdasarkan unsur pembentuknya dan berdasarkan fungsinya dalam
hubungan situasional (Ramlan,
1996:27-49). Klasifikasi berdasarakan unsur pembentuk itu
akan membedakan apakah sebuah kalimat berklausa, apakah hanya terdiri dari
satu klausa (kalimat sederhana) atau lebih dari satu klausa (kalimat luas:
hubungannya setara atau tidak). Adapan klasifikasi berdasarkan fungsinya dalam
hubungan situasional akan mengelompokkan kalimat-kalimat itu pada kalimat
berita, tanya, atau suruh sesuai dengan ciri formal yang dimilikinya.
Selanjutnya, kalimat berklausa akan dianalisis pada
tataran klausa. Pada tataran ini sebuah klausa akan diklasifikasi berdasarkan
strukturnya yaitu apakah termasuk klausa lengkap (klausa mayor) atau tidak
lengkap, ada bagian yang dihilangkan (klausa minor). Selain itu, dari segi
ada tidaknya kata negatif dalam klusa itu akan menentukan apakah
klausa itu termasuk klausa positif atau negatif. Kemudian dalam
kategori kata atau frase pengisi fungsi predikatnya akan ditentukan
apakah klausa tersebut klausa nominal verbal, bilangan atau
depan. Selanjutnya, analisis klausa ini akan membagi klausa berdasarkan
unsur pembentuknya dengan mengikuti penilitian sintaktik model Verhaar dan
Ramlan yang akan mengkaji masing-masing klausa itu dari 3 hal, yaitu :
fungsi, kategori, dan peran dari tiap unsur pembentuk klausa tersebut.
Verhaar mendefinisikan fungsi sintaksis sebagai
sebuah konstituen bentuk yang bebas diisi oleh unsur semantik ataupun unsur
kategorial apapun. Fungsi itu dapat disamakan dengan apa yang disebut slot
dalam analisis tagmemik yang didefinisikan sebagai tempat kosong yang
harus diisi dengan kategori dan peran unsur semantik
tertentu. Oleh karena itu, analisis fungsional akan membagi sebuah
bentuk bahasa dalam unsur yang lebih kecil dengan slot itu.
Kategori sintaksis adalah apa yang lazim disebut
sebagai kelas kata seperti nomina, verba, adverbia, dan sebagainya.
Analisis kategorial yang
merupakan kelanjutan analisis fungsional biasanya akan menjelaskan
kategori dari tiap fungsi yang sudah teridentifikasi. Jadi dalam hal itu,
kategori ini bisa tidak hanya terdiri dari satu kata tetapi bisa saja satu
frase.
Peran sintaksis menyangkut aspek makna dari tiap unsur
dalam sebuah bentuk lingual. Jadi, analisis berdasarkan peran akan
mempertimbangkan makna apa yang dikandung suatu unsur dalam hubungannya dengn
unsur lain.
Selanjutnya, analisis akan bergerak pada tataran
frase. Dari tiap
frase pengisi fungsi dalam klausa yang ada dalam tataran ini, sebuah frase akan diketahui kategorinya serta jenisnya apakah termasuk
frase endosentrik atau eksosentrik. Frase eksosentrik hanya berupa frase depan.
Kemudian, tiap frase dipilah berdasarkan fungsi, kategori juga peran
masing-masing unsur pembentuknya sampai akhirnya selesai pada tataran
kata.
Agar mudah dipahami, analisis frase dan klausa
berdasarkan fungsi, kategori, dan peran itu akan dibuat dalam bentuk tabel.
Kolom tabel akan disesuaikan jumlah unsur
slot atau fungsi yang ada pada tiap tataran itu. Adapun
baris tabel selalu akan terdiri dari baris bentuk, fungsi, kategori, dan
peran. Keempat urutan baris ini berulang sampai analisis selesai pada
bentuk kata.
B. Identifikasi
Masalah
Dalam
kajian penelitian ini mengkaji berdasarkan fungsi, kategori, dan peran, pada sebuah artikel di harian Kompas
edisi 18 Oktober 2009 dengan judul “menanti janji SBY”. Kesulitan menganalisa kalimat dalam
membedakan antara S, O, P, Pel, K dalam sebuah kalimat,
perlu menyiapkan konsep yang matang tentang toeri kalimat.
Penelitian mengenai variasi struktur kalimat
dibatasi berdasarkan fungsi, kategori, dan peran.
Ragam bahasa yang digunakan adalah ragam bahasa media masa yang ada di harian Kompas.
Sebagai sumber data, penelitian ini menggunakan teks artikel yang diterbitkan melalui harian Kompas edisi 18 Oktober
2009.
C. Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dapat dirumuskan beberapa
masalah yang harus diuraikan, yaitu:
1. Bagaimana menganalisis kalimat pada artikel berdasarkan fungsi
pada harian Kompas yang berjudul “menanti janji SBY”?
2. Bagaimana menganalisis kalimat pada artikel berdasarkan kategori
pada harian Kompas yang berjudul “menanti janji SBY”?
3. Bagaimana menganalisis kalimat pada artikel berdasarkan peran
pada harian Kompas yang berjudul “menanti janji SBY”?
D. Tujuan
Penelitian
Berdasarkan
rumusan masalah, ada beberapa tujuan, yaitu:
1. Mendeskripsikan kalimat-kalimat berdasarkan fungsinya.
2. Mendeskripsikan kalimat-kalimat berdasarkan kategori.
1. Mendeskripsikan kalimat-kalimat berdasarkan fungsinya.
2. Mendeskripsikan kalimat-kalimat berdasarkan kategori.
3. Mendeskripsikan
kalimat-kalimat berdasarkan peran.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORITIS
A. Kajian
Pustaka
Kajian
pustaka dilakukan terhadap hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan para
peneliti sebelumnya yang relevan dengan penelitian ini. Selanjutnya pustaka tersebut
digunakan sebagai landasan teori atau pijakan dalam menganalisis temuan
penelitian ini. Pustaka
yang relevan yang mendasari penelitian ini meliputi karya-karya yang berupa
hasil penelitian yang telah dilakukan.
Penelitian
yang dilakukan oleh Rofiudin (1990) meneliti bentuk dan fungsi pertanyaan di
dalam kelas dan keluarga. Temuannya adalah bahwa di dalam interaksi kelas
sekolah dasar ada delapan bentuk pertanyaan yang dapat memerankan empat
fungsi pertanyaan, yaitu meminta penjelasan, memohon, melarang, dan meminta
ketegasan. Di dalam interaksi keluarga ada sebelas bentuk pertanyaan yang dapat
memerankan enam fungsi, yaitu meminta penjelasan, memohon atau mengajak, melarang atau
menolak, memuji atau mengejek,
mengeluh, dan meminta ketegasan. Adapun penelitian
selanjutnya (1994) meneliti
sistem pertanyaan di dalam bahasa Indonesia dengan
menggunakan analisis pragmatik.
Menurutnya pertanyaan di dalam bahasa Indonesia dapat dipergunakan untuk menggunakan
empat jenis tindak tutur, yaitu tindak tutur direktif, ekspresif, komisif, dan
representatif.
Mulyadi (1998), meneliti
struktur semantis verba bahasa Indonesia. Teori yang digunakan dalam penelitian
Mulyadi adalah teori Makna Alamiah Metabahasa. Aspek makna yang dikaji
adalah klasifikasi, ketransitifan, peran, “makna asli”, dan
struktur. Berdasarkan analisis yang dilakukannya, verba bahasa Indonesia dapat
digolongkan atas keadaan, proses, dan tindakan. Verba keadaan mempunyai kelas kognisi,
pengetahuan, emosi, dan persepsi; verba proses mempunyai kelas kejadian, proses
badaniah, dan gerakan (bukan agentif); verba tindakan memiliki kelas gerakan
(agentif), ujaran, dan perpindahan. Berdasarkan analaisis peran semantisnya,
verba keadaan pada umumnya memiliki peran lokatif dan lokatif-tema. Pada verba
proses, penderita diderivasi menjadi menjadi pasien dan tema. Relasi semantis
verba tindakan ialah agen-lokatif, agen-tema, dan agen-pasien.
Walaupun penelitian Mulyadi
menggunakan teori yang berbeda dengan penelitian ini tetapi penelitian Mulyadi
dapat dimanfaatkan terutama cara menentukan keanggotaan setiap verba. Analisis
yang dilakukan Mulyadi dalam menentukan keanggotaan setiap verba cukup tajam
dan jelas sehingga cara analisisnya bermanfaat apabila dijadikan acuan dalam
penelitian ini.
Masreng (2003) dalam
tesisnya mengkaji tentang struktur dan peran semantis verba dengan makna “emosi” dalam
bahasa Kei. Teori yang digunakan untuk mengungkapkan karakteristik semantik
alamiah bahasa Key adalah teori Metabahasa Semantik Alami (NSM) yang diperkenalkan
oleh Wierzbicka (1996) dengan teknik analisis parafrase. Teori lain yang
digunakan adalah teori Peran Umum (Foley dan Van Valin, 1984 dan La Pola,
1997), dan teori Peranti Emotif oleh Ullmann (1977).
Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Masreng menunjukkan bahwa verba emosi bahasa Key memiliki tiga
ciri, yaitu yang berbentuk ilokusi, peranti leksikal, dan idiomatik.
Berdasarkan ciri-ciri tersebut, verba dengan makna emosi diklasifikasikan
menjadi empat domain makna. Keempat domain makna tersebut, yakni verba ilokusi
oral, verba emosi rasa fisik, rasa psikis, dan rasa lainnya. Di samping itu,
struktur semantis verba emosi memperhatikan kaidah makna bersistem. Artinya,
dari makna sederhana menuju ke makna kompleks. Misalnya, suk “suka”, mayun
“sangat suka”, dan ahel “sangat
suka/sangat menginginkan”. Sistem ini berbeda dengan peran semantis verba
dengan makna emosi dalam konstruksi klausa. Verba-verba tindak ilokusi oral
bergeser dari peran agen ke lokatif dan dari pasien ke tema. Di lain pihak, verba-verba
keadaan yang bermakna emosi memiliki ciri peran undergoer dalam struktur
logisnya. Misalnya, babuax dalam Ya ya-babuax “saya
takut” [undergoer], dan I ni mashun “dia
bersedih” [undergoer].
Kajian yang dilakukan oleh
Masreng berfokus pada struktur dan peran semantis verba dengan makna „emosi‟
saja, dan tidak membahas makna verba secara keseluruhan. Oleh karena itu,
kajian Masreng belum menggambarkan perilaku verba secara keseluruhan, tetapi
penelitiannya memberi kontribusi dalam proses analisis data penelitian ini. Keempat
jenis tindak tutur tersebut merupakan kajian penelitiannya yang digunakan peneliti
sebagai acuan atau daftar rujukan.
B. Kerangka
Teoritis
1. Pengertian Sintaksis
Istilah
sintaksis berasal dari bahasa Yunani, yaitu sun yang berarti “dengan” dan tattein yang
berarti “menempatkan”. Secara
etimologis, sintaksis berarti
menempatkan bersama-bersama kata-kata atau kelompok kata
menjadi kalimat (Ahmad
dalam Putrayasa, 2008: 1). Banyak pakar memberikan definisi mengenai sintaksis ini. Ramlan
dalam (Putrayasa, 2008:1) mengatakan, bahwa sintaksis adalah cabang ilmu
bahasa yang membicarakan seluk beluk wacana, kalimat, klausa, dan frasa.
Verhaar
menyatakan bahwa, sintaksis adalah tatabahasa yang membahas hubungan antar-kata
dalam tuturan. Sintaksis berurusan dengan tatabahasa di antara kata-kata dalam
tuturan (1999: 161).
Sintaksis
merupakan cabang linguistik yang mempelajari hubungan antara kata dengan kata, atau
dengan satuan-satuan yang lebih besar, atau antara satuan-satuan yang lebih besar itu
dalam bahasa. Morfologi, bersama-sama dengan sintaksis, merupakan tataran ilmu
bahasa yang disebut ilmu bahasa atau gramatika. Morfologi juga disebut tata
kata atau tata bentuk merupakan studi gramatikal struktur internal kata,
sedangkan sintaksis yang juga disebut tata kalimat merupakan studi gramatikal
mengenai kalimat. Batasan antara morfologi dan sintaksis di atas hanya sebagai
pegangan dasar saja, sebab sebenarnya batas kedua wilayah studi itu tidaklah tegas.
Sintaksis
adalah telaah mengenai pola-pola yang dipergunakan sebagai sarana untuk menggabungkan
kata menjadi kalimat, Stryker dalam (Tarigan, 2009: 4). Menurut Blonch dan
Trager (dalam Tarigan, 2009: 4), analisis mengenai konstruksi-konstruksi
yang hanya mengikutsertakan bentuk-bentuk bebas disebut sintaksis. Sedangkan,
menurut Ramlan dalam Keraf, sintaksis adalah bagian dari tata bahasa yang
membicarakan struktur frase dan kalimat (2009: 4).
Berdasarkan
pernyataan-pernyataaan dan batasan di atas, dapat disimpulkan bahwa sintaksis adalah
ilmu tata kalimat yang membahas susunan kalimat dan bagiannya; lingkungan
gramatikal dari suatu unsur bahasa yang menentukan fungsi, kategori, dan
peran unsur tersebut.
Menurut
Chaer (994:206), bahwa yang biasa dibicarakan adalah (1) struktur sintaksis, mencakup
masalah fungsi, kategori, dan peran sintaksis; serta alat-alat yang digunakan dalam
membangun struktur itu; (2) satuan-satuan sintaksis yang berupa frasa, klausa,
kalimat, dan wacana; dan (3) hal-hal yang berkenaan dengan sintaksis, seperti masalah
modus, aspek, dan sebagainya.
2. Pola Sintaksis
Pola
Sintaksis adalah struktur, urutan, tatanan kalimat yang membahas susunan kalimat dan bagiannya;
lingkungan gramatikal dari suatu unsur bahasa yang menentukan fungsi,
kategori, dan peran unsur tersebut. Menurut Chaer (994:206), bahwa yang biasa
dibicarakan adalah (1) struktur sintaksis, mencakup masalah fungsi, kategori, dan
peran sintaksis; serta alat-alat yang digunakan dalam membangun struktur
itu; (2) satuan-satuan sintaksis yang berupa frasa, klausa, kalimat, dan wacana;
dan (3) hal-hal yang berkenaan dengan sintaksis, seperti masalah modus, aspek,
dan sebagainya. Pola sintaksis juga berupa analisis kalimat berdasarkan jenis
kalimat, antara lain kalimat tak lengkap, kalimat tunggal, kalimat majemuk,
kalimat berdasarkan bentuk sintaksis (kalimat deklaratif, kalimat imperatif,
kalimat interogatif, kalimat imperatif).
Alwi
menyatakan bahwa istilah kalimat mengandung unsur paling tidak memiliki subjek dan predikat,
tetapi telah dibubuhi intonasi atau tanda baca (2003: 39). Menurut Alwi dkk.
(2003: 35-39), kalimat berwujud rentetan kata yang disusun sesuai dengan kaidah
yang berlaku. Tiap kata dalam kalimat mempunyai tiga klasifikasi, yaitu
berdasarkan (1) kategori sintaktis, (2) fungsi sintaktis, dan (3) peran semantisnya.
2.1
Kategori sintaktis sering pula disebut
dengan kategori atau kelas kata.
Dalam bahasa Indonesia terdapat empat kategori sintaktis
yang utama, yaitu
verba (kata kerja), nomina (kata benda, adjektiva (kata sifat), dan adverbial (kata
keterangan).
2.2
Fungsi sintaktis yaitu tiap kata atau frasa dalam
kalimat mempunyai fungsi
yang mengaitkannya dengan kata atau frasa lain yang ada dalam kalimat tersebut.
Fungsi itu bersifat sintaktis, artinya berkaitan dengan urutan kata atau frasa
dalam kalimat. Fungsi sintaksis utama dalam bahasa Indonesia adalah
predikat, subjek, objek, pelengkap, dan keterangan.
Disamping itu
terdapat fungsi lain yaitu fungsi atributif (yang menerangkan), fungsi koordinatif (yang
menggabungkan secara setara),
subordinatif (yang menggabungkan secara bertingkat). Berikut ini penjelasan
mengenai fungsi sintaksis menurut Alwi dkk. (2003: 326).
a. Fungsi
Predikat
Predikat
merupakan konstituen pokok yang disertai dengan konstituen subjek di sebelah
kiri, jika ada, konstituen objek, pelengkap, dan/ atau keterangan wajib
disebelah kanan. Predikat kalimat biasanya berupa frasa verbal atau frasa
adjektival. Pada kalimat yang berpola SP, predikat dapat pula berupa frasa
nominal, frasa numeral, atau frasa preposisional, di samping frasa verbal
dan frasa adjektival.
b. Fungsi
Subjek
Subjek
merupakan fungsi sintaksis terpenting yang kedua setelah predikat. Pada umumnya subjek
berupa nomina, frasa nominal, atau klausa. Pada umumnya subjek berada di sebelah kiri
predikat. Jika unsur subjek panjang
dibandingkan dengan unsur predikat, subjek sering juga
diletakkan di akhir kalimat.
Subjek pada kalimat imperatif adalah orang kedua atau orang pertama jamak dan
biasanya tidak hadir. Subjek pada kalimat aktif transitif akan menjadi pelengkap
bila kalimat itu dipasifkan.
c. Fungsi Objek
Objek adalah
konstituen kalimat yang kehadirannya dituntut oleh predikat yang berupa verba
transitif pada kalimat aktif. Letaknya selalu setelah predikatnya. Dengan
demikian, objek dapat dikenali dengan meperhatikan (1) jenis predikat
yang dilengkapinya dan (2) ciri khas objek itu sendiri.
Verba transitif
biasanya ditandai oleh kehadiran afiks tertentu. Objek biasanya berupa nomina
atau frasa nominal. Objek pada kalimat aktif transitif akan menjadi subjek jika di
pasifkan. Potensi objek menjadi
subjek apabila kalimat itu dipasifkan itu merupakan ciri
utama yang membedakan
objek dari nomina atau frasa nominal.
Objek
|
Pelengkap
|
1. berwujud frasa nominal atau klausa
|
1. berwujud frasa nominal, frasa
verbal, frasa adjektivsl, frasa
preposisional, atau klausa
|
2. berada langsung di belakang
predikat
|
2. berada langsung bibelakang
predikat jika
tidak ada objek dan di belakang objek jika unsur ini muncul
|
3. menjadi subjek akibat pemasifan kalimat
|
3. tidak dapat menjadi subjek apabila
ada pemasifan
kalimat
|
4. dapat diganti dengan pronomina –nya
|
4. tidak dapat diganti dengan nya kecuali dalam kombinasi
preposisiselain di , ke, dari, dan
akan
|
d. Fungsi Pelengkap
Kebanyakan
orang sering mencampuradukkan pengertian objek dan pelengkap. Hal ini
dapat dimengerti karena antara kedua konsep itu memang terdapat kemiripan. Baik objek
maupun pelengkap sering
berwujud nomina, dan keduanya sering menuduki tempat yang
sama yakni dibelakang
verba.
2.3 Peran Semantis
Pada dasarnya
tiap kalimat memerikan suatu peristiwa atau keadaan yang melibatkan satu
peserta, atau lebih, dengan peran semantis yang berbedabeda (Alwi dkk, 2003: 334).
Peran semantik merupakan analisis mengenai kedudukan kata dalam kalimat yang
berupa pelaku, perbuatan,
pengalaman, dll. Namun, dalam penelitian ini tidak membahas
mengenai peran
semantik.
2.4 Jenis
Kalimat
Menurut Alwi,
dkk. (2003), jenis kalimat dapat ditinjau dari sudut (a) jumlah klausanya, (b) bentuk
sintaksisnya, (c) kelengkapan unsurnya, (d) susunan subjek dan predikatnya.
(a) Jumlah
klausa
Kalimat
berdasarkan jumlah klausa dapat dibagi atas kalimat tunggal dan kalimat majemuk.
(b) Bentuk
sintaksis
Kalimat
berdasarkan bentuk sintaksis di bagi atas (1) kalimat deklaratif atau kalimat berita,
(2) kalimat imperatif atau kalimat perintah, (3) kalimat interogatif atau
kalimat tanya, dan (4) kalimat ekslamatif atau kalimat seruan. Penggolongan
kalimat berdasarkan bentuk sintaksisnya itu tidak berkaitan langsung dengan fungsi pragmatis
atau nilai komunikatifnya
yakni fungsi pemakaian bahasa untuk tujuan komunikasi.
(c) Kelengkapan
unsur
Berdasarkan
kelengkapan unsurnya, kalimat dapat dibedakan atas (1) kalimat lengkap atau
kalimat major, (2) kalimat taklengkap atau kalimat minor.
(d) Susunan subjek
predikat
Kalimat dari
segi susunan unsur subjek dan predikat dibedakan atas (1) kalimat biasa, (2)
kalimat inversi.
Subjek
pada penelitian ini adalah pola sintaksis, sedangkan objek penelitiannya adalah artikel di
harian Kompas.
Objek penelitian ini merupakan kalimat derivasional, kalimat yang strukturnya
sudah mengalami perubahan demi
kelancaran komunikasi, oleh karena itu peneliti membatasi
ruang lingkup penelitian
pada jenis kalimat yaitu 1) kalimat
berdasarkan bentuk sintaksis yang diklasifikasi berdasarkan
kategori sintaktis; 2) kalimat
berdasarkan bentuk sintaksis yang diklasifikasi berdasarkan
fungsi sintaktis; 3) kalimat
berdasarkan bentuk sintaksis yang diklasifikasi berdasarkan peran semantisnya.
3. Pengertian Frasa
Unsur
terkecil sintaksis adalah frasa. Frasa adalah satuan linguistik yang secara potensional merupakan
gabungan dua kata atau lebih yang tidak mempunyai ciri-ciri klausa, menurut Cook,
Elson, dan Pickett (dalam Bagus, 2008: 2). Ramlan (dalam Bagus, 2008: 2) mengatakan,
bahwa frase adalah satuan gramatikal yang terdiri atas dua kata atau lebih yang
tidak melampaui batas fungsi unsur klausa. Kelompok kata yang menduduki sesuatu
fungsi di dalam kalimat disebut frase, walaupun tidak semua frase terdiri atas
kelompok kata menurut Putrayasa (dalam Bagus, 2008: 3). Frasa adalah suatu
konstruksi yang terdiri atas dua konstituen atau lebih yang dapat mengisi fungsi
sintaksis tertentu dalam kalimat tetapi tidak melampaui batas fungsi klausa atau
dapat dikatakan frasa itu nonpredikatif (Tarmini, 11: 2012).
Menurut
beberapa ahli, frasa dapat disimpulkan bahwa, Frasa merupakan satuan sintaksis yang
terdapat satu tingkat di bawah klausa dan satu tingkat di atas kata. Secara sederhana
penngertian frasa adalah satuan gramatika yang terdiri atas dua kata atau lebih yang
tidak melebihi batas fungsi klausa, atau satuan gramatika yang tidak berpredikat
(nonpredikatif).
4. Jenis-Jenis Frasa
Frasa dibagi
atas beberapa jenis antara lain:
(1) frase eksosentrik;
(2) frase endosentris;
(3) frase koordinatif; dan
(4) frase apositif (Chaer, 1994:
225).
Menurut
Tarigan (2009: 96), berdasarkan tipe strukturnya frase dibedakan atas (1) frase eksosentris; dan
(2) frase endosentris. Jenis frasa berdasarkan distribusinya dalam kalimat, frasa
dapat dibedakan menjadi frasa endosentris dan eksosentris (Tarmini, 2012: 12).
Jenis
frasa berdasarkan kategori atau kelas dapat diklasifikasikan menjadi enam golongan, yaitu:
(1) frasa nominal atau frasa benda
;
(2) frasa verbal atau frasa kerja;
(3) frasa adjektival atau frasa sifat;
(4) frasa numeral atau frasa
bilangan;
(5) frasa adverbial atau frasa
keterangan; dan
(6) frasa preposisional dan frasa
depan (Tarmini, 2012: 229).
5. Pengertian Klausa
Menurut
Alwi, dkk., (2003: 39), istilah klausa digunakan untuk merujuk pada deretan kata yang
paling tidak memiliki subjek dan predikat, tetapi belum memiliki intonasi atau
tanda baca tertentu. Klausa adalah kelompok kata yang hanya mengandung satu
predikat menurut Cook; Elson dan Pickett dalam (Tarigan, 2009: 43). Menurut Ramlan
dalam (Tarigan, 2009: 43) klausa adalah suatu bentuk linguistik yang terdiri
atas subjek dan predikat.
Klausa
merupakan satuan sintaksis yang berada di atas satuan frasa dan di bawah satuan kalimat, berupa
runtutan kata-kata berkonstruksi predikatif. Artinya, di dalam konstruksi itu
ada komponen berupa kata atau frasa, yang berfungsi sebagai predikat; dan yang
lain berfungsi sebagai subjek, sebagai objek, dan sebagainya (Chaer, 2009: 41).
Sedangkan menurut Tarmini (2012: 26), klausa merupakan sebuah kontruksi kebahasaan
yang dapat dikembangkan menjadi kalimat. Dapat dikatakan klausa sebagai kalimat dasar.
Kalimat dasar merupakan kalimat
deklaratif yang memiliki struktur predikasi. Kalimat dasar
merupakan kalimat yang
memenuhi kondisi:
(i) kalimat itu hanya memiliki
satu verba;
(ii) kalimat
itu tidak mengandung unsur yang dihubungkan oleh konjungsi dengan unsur lain;
(iii) Subjek,
Objek, dan Predikat kalimat dasar memunyai spesifikasi minimal; dan
(iv) kalimat
dasar tidak mengandung operator sekunder seperti negasi, perintah, pertanyaan,
dan modalitas.
6. Jenis-Jenis Klausa
Klausa
dibagi atas beberapa jenis. Menurut Chaer (2009:42) klausa dapat dibedakan berdasarkan
kategori dan tipe kategori yang menjadi predikatnya.
Berikut contoh dan penjelasan
jenis-jenis klausa.
1. Klausa Nominal, yakni
klausa yang predikatnya berkategori nomina.
Contoh:
Kakeknya
orang batak
S P
Ibunya
kepala SD
di Bekasi
S P
Ket.
2. Klausa
Verbal, yakni klausa yang predikatnya berkategori verba. Secara gramatikal dikenal
adanya beberapa tipe verba antara lain:
a) klausa verbal transitif,
yakni yang predikatnya berupa verba
transitif.
Kakek
membaca
komik
S P
O
b) klausa
verbal intransitif, yakni klausa yang yang predikatnya berupa verba intransitif,
misalnya.
Anak-anak
berlari
S P
3. Klausa Ajektival, yakni
klausa yang predikatnya berkategori ajektifa, misalnya.
Nenekku
masih cantik
S P
4. Klausa Peposisional,
yakni klausa yang predikatnya berkategori preposisi. Misalnya:
Nenek
ke Medan
S P
5. Klausa Numeral, yakni klausa
yang predikatnya berkategori numeralia. Misalnya:
Kucingnya
dua ekor
S P
7. Pengertian Kalimat
Satuan
bahasa yang menjadi inti pembicaraan dalam sintaksis adalah kalimat. Kalimat merupakan
satuan di atas klausa dan di bawah satuan wacana. Kalimat adalah satuan
sintaksis yang disusun dari konstituen dasar, yang biasany berupa klausa, dilengkapi
dengan konjungsi bila diperlukan, serta disertai dengan intonasi final (Chaer, 2009:
44).
Menurut
Hasan Alwi, dkk., kalimat merupakan satuan bahasa terkecil, dalam wujud lisan maupun
tulisan yang mengungkapkan pikiran yang utuh. Dalam wujud lisan, kalimat
diucapkan dengan suara naik turun dan keras lembut, disela jeda, dan diakhiri
dengan intonasi akhir yang diikuti oleh kesenyapan yang mencegah terjadinya
perpaduan ataupun asimilasi bunyi ataupun proses fonologis lainnya. Dalam wujud
tulisan berhuruf Latin, kalimat dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri
dengan tanda baca titik (.), tanda tanya (?), atau tanda seru (!).
Kalimat
merupakan satuan bahasa terkecil, dalam wujud lisan atau tulisan, yang mengungkapkan pikiran
yang utuh. Dalam tuturan, kalimat disampaikan dengan lemah lembut, disela
jeda, dan diakhiri dengan intonasi akhir yang diikuti dengan kesenyapan yang
mencegah terjadinya perpaduan atau pun asimilasi bunyi atau proses fonologis
lainnya. Wujud tulisan berhuruf Latin, kalimat dimualai dengan huruf kapital dan
diakhiri dengan tanda titik (.), tanda tanya (?), atau tanda seru (!); sementara itu, di dalamnya disertakan
pula berbagai tanda baca seperti koma (,), titik dua (;), tanda pisah (-),
dan spasi. Tanda titik, tanda tanya, dan tanda seruu sepadan dengan intonasi akhir,
sedangkan tanda baca sepadan dengan jeda (Alwi, dkk., 2003: 311).
Pengertian
kalimat pada penelitian ini adalah kalimat sebagai satu pikiran yang lengkap, meskipun
hanya terdapat satu kata pun dapat dikatakan sebagai kalimat.
Alwi
menyatakan bahwa istilah kalimat mengandung unsur paling tidak memiliki subjek dan predikat,
tetapi telah dibubuhi intonasi atau tanda baca (2003: 39). Menurut Alwi dkk.
(2003: 35-39), kalimat berwujud rentetan kata yang disusun sesuai dengan kaidah
yang berlaku. Tiap kata dalam kalimat mempunyai tiga klasifikasi, yaitu
berdasarkan (1) kategori sintaktis, (2) fungsi sintaktis, dan (3) peran semantisnya.
1)
Kategori sintaktis sering pula disebut
dengan kategori atau kelas kata.
Dalam bahasa Indonesia terdapat empat kategori sintaktis
yang utama, yaitu
verba (kata kerja), nomina (kata benda, adjektiva (kata sifat), dan adverbial (kata
keterangan).
2)
Fungsi sintaktis yaitu tiap kata atau frasa dalam
kalimat mempunyai fungsi
yang mengaitkannya dengan kata atau frasa lain yang ada dalam kalimat tersebut.
Fungsi itu bersifat sintaktis, artinya berkaitan dengan urutan kata atau frasa
dalam kalimat. Fungsi sintaksis utama dalam bahasa Indonesia adalah predikat,
subjek, objek, pelengkap, dan
keterangan. Disamping itu terdapat fungsi lain yaitu fungsi
atributif (yang
menerangkan), fungsi koordinatif (yang menggabungkan secara setara), subordinatif
(yang menggabungkan secara bertingkat).
3) Peran Semantis
Pada dasarnya
tiap kalimat memerikan suatu peristiwa atau keadaan yang melibatkan satu
peserta, atau lebih, dengan peran semantis yang berbeda-beda (Alwi dkk, 2003: 334).
Perhatikan contoh berikut ini.
a. Farida menunggui adiknya.
b. Penjahat itu mati.
Dari contoh a
dan b dapat dilihat bahwa Farida merupakan pelaku, yakni orang yang melakukan
perbuatan menunggu. Adiknya pada kalimat tersebut merupakan sasaran,
yakni yang terkena perbuatan yang dilakukan oleh pelaku. Sedangkan kata penjahat pada
kalimat b bukanlah pelaku karena
mati bukanlah perbuatan yang dia lakukan, melainkan sesuatu
yang terjadi padanya.
Dari contoh di atas dapat disimpulkan bahwa peran semantik merupakan analisis
mengenai kedudukan kata dalam kalimat yang berupa pelaku, perbuatan, pengalaman, dll.
a. Pelaku
Pelaku adalah
peserta yang melakukan perbuatan yang dinyatakan oleh verba predikat.
Peserta umumnya manusia atau binatang. Tetapi benda yang potensial juga dapat
berfungsi sebagai pelaku. Peran pelau itu merupakan peran semantis utama
subjek kalimat aktf dan pelengkap kalimat pasif.
Perhatikan
contoh berikut.
1) Anak itu sedang
membaca koran. (kalimat aktif)
2) Buku saya di
pinjam Andi. (kalimat pasif)
b. Sasaran
Sasaran adalah
peserta yang dikenai perbuatan yang dinyatakan oleh verba predikat. Peran
sasaran itu merupakan peran utama objek atau pelengkap seperti pada contoh
berikut ini.
1) Doni
mengirim uang kepada ibunya.
2) Ibu
mengambilkan ayag air minum.
c. Pengalam
Pengalam adalah
peserta yang mengalami keadaan atau peristiwa yang dinyatakan predikat.
Peran pengalam merupakan unsur subjek yang predikatnya adjektiva atau verba
taktransitif yang lebih menyatakan
keadaan, contoh:
1) Adik saya
sakit hari ini.
2) Saya melihat
gunung itu meletus.
d. Peruntung
Peruntung
adalah peserta yang beruntung dan yang memperoleh manfaat dari keadaan,
peristiwa atau perbuatan yang dinyatakan oleh predikat. Partisipasi peruntung
biasanya berfungsi sebagai objek, pelengkap, atau sebagai subjek verba jenis mempunyai
atau menerima.
Contoh:
1) Ayah memberi
uang kepada saya.
2) Ibu
membelikan Tuti kalung.
e. Atribut
Dalam kalimat
yang predikatnya nomina, predikat tersebut mempunyai peran semantis
atribut. Perhatikan contoh berikut.
1) Orang itu guru
saya.
2) Wanita itu ibunya.
f. Peran
Semantik Keterangan
Disamping
kelima peran si atas, ada peran semantis lain yang terdapat pada fungsi keterangan
tempat, keterangan alat, dan keterangan sumber. Peran semantis ini pada
dasarnya sesuai dengan sifat kodratif dari nomina yang ada pada keterangan.
8. Wacana
Wacana adalah rentetan
kalimat yang berkaitan sehingga terbentuklah makna yang serasi diantara
kalimat-kalimat itu.
Sebagai satuan bahasa yang
lengkap, maka dalam wacana itu berarti terdapat konsep, gagasan, pikiran, atau
ide yang utuh, yang bisa dipahami oleh pembaca (dalam wacana tulis) atau
pendengar (dalam wacana lisan) tanpa keraguan apapun. Sebagai satuan gramatikal
tertinggi atau terbesar, wacana dibentuk dari kalimat-kalimat yang memenuhi
persyaratan gramatikal, dan persyaratan kewacanaan lainnya. Persyaratan
gramatikal dapat dipenuhi kalau dalam wacana itu sudah terbina kekohesifan,
yaitu adanya keserasian hubungan antara unsur-unsur yang ada dalam wacana
sehingga isi wacana apik dan benar.
1. Alat Wacana
Alat-alat gramatikal yang
dapat digunakan untuk membuat sebuah wacana menjadi kohesif, antara lain:
Pertama, konjungsi, yakni alat untuk menghubung-hubungkan bagian-bagian
kalimat; atau menghubungkan paragraf dengan paragraf. Kedua, menggunakan kata
ganti dia, nya, mereka, ini, dan itu sebagai rujukan anaforis sehingga bagian
kalimat yang sama tidak perlu diulang melainkan menggunakan kata ganti. Ketiga,
menggunakan elipsis, yaitu penghilangan bagian kalimat yang sama yang terdapat
kalimat yang lain.
Selain dengan upaya
gramatikal, sebuah wacana yang kohesif dan koheren dapat juga dibuat dengan
bantuan berbagai aspek semantik, antara lain: Pertama, menggunakan hubungan
pertentangan pada kedua bagian kalimat yang terdapat dalam wacana itu. Kedua,
menggunakan hubungan generik - spesifik; atau sebaliknya spesifik - generik.
Ketiga, menggunakan hubungan perbandingan antara isi kedua bagian kalimat; atau
isi antara dua buah kalimat dalam satu wacana. Keempat, menggunakan hubungan
sebab - akibat di antara isi kedua bagian kalimat; atau isi antara dua buah
kalimat dalam satu wacana. Kelima, menggunakan hubungan tujuan di dalam isi
sebuah wacana. Keenam, menggunakan hubungan rujukan yang sama pada dua bagian
kalimat atau pada dua kalimat dalam satu wacana.
2. Jenis Wacana
Berkenaan dengan
sasarannya, yaitu bahasa lisan atau bahasa tulis, dilihat adanya wacana lisan
dan wacana tulis.Dilihat dari penggunaan bahasa apakah dalam bentuk uraian
ataukah bentuk puitik dibagi wacana prosa dan wacana puisi. Selanjutnya, wacana
prosa, dilihat dari penyampaian isinya dibedakan menjadi wacana narasi, wacana
eksposisi, wacana persuasi dan wacana argumentasi.